PEMULIHAN EKOSISTEM DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI STARTEGI PENCEGAHAN BENCANA ASAP AKIBAT DARI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Oleh Syamsul Bahri, SE dan Sismanto, SP
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama musim kemarau 2019 diberbagai wilayah di Indonesia cukup menyibukan dan menjadi pusat perhatian publik. Kebakaran hutan dan lahan tersebut selama tahun 2019, sampai akhir minggu pertama bulan desember 2019, dengan jumlah Hot Spot 27.686 seluruh Indonesia.
Jika kita cermati grafik disamping peningkatan HS dimulai dari bulan Juli 2019 sampai sepetmber 2019 sebesar 54,43%, dan secara signifikan terjadi penurunan pada bulan Oktober menjadi 15,55%, sampai minggu pertama bulan Desember 2019 menjadi 0,47%
Begitu juga wilayah yang terbakar sebagaimana grafik sebelah kanan dengan hot Spot diatas 5 % adalah adalah (1) Provinsi Kalimantan tengah 32,65%, (2) Provinsi Kalimantan Barat 19,10%, (3) Provinsi Sumatera Selatan 17,02%, (4) Provinsi Jambi 16,46%, (5) Provinsi Riau 10,58%, sedangkan Provinsi lainnya dengan Prosentase Hot Spot dibawah 5%.
Kemudian jika kita telah dari luasan areal yang terbakar diseluruh Wilayah Indonesia 857,755.00 ha, diperinci pada Provinsi Prioritas (1) Kalimantan Tengah 24,70%; (2) Kalimantan Barat 23,46%, (3) Kalimantan Selatan 20,88%, (4) Riau 13,96%, (5) Sumatera Selatan 9,70% dan (6) Jambi 7,29%
Dari aspek Jumlah Hot Spot Provinsi Jambi merupakan urutan ke 4, sedangkan dari keluasan areal yang terbakar Provinsi Jambi merupakan urutan ke 6 besar.
Dari aspek Periodenisasi bahwa kebakaran Hutan dan lahan dimulai pada bulan Juni sampai bulan November 2019, dengan rincian Provinsi Jambi dengan jumlah Hot Spot sebanyak 35.650 HS dengan luasan yang terbakar mencapai 39.638 Ha, dan jika kita tinjau dan kita bandingkan dari kejadian Hot spot tahun 2015 berdasarkan wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi, bahwa hotspot tersebut dengan rincian katogori 4 besar posentase hot spot tertinggi adalah (1) Kabupaten Muara Jambi (45,95%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (20,24%), Sarolangun (9,13%) dan Kabupaten Tebo (7,8%), sementara Kabupaten/Kota lainnya berada di bawah 7,8% bahkan ada yang 0,0% seperti Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh.
Kondisi yang diperkirakan sama pada Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2019 ini dibandingkan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, dimana sumber asap dan kebakaran hutan dan lahan terjadi dengan prosentase diatas 10% hot Spot adalah 1) Kabupaten Muara Jambi (45,95%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (20,24%), yang memiliki Kawasan ekosistem gambut yang sangat rentan akan ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Dari sebanyak ± 2618 Hot Spot tersebut pada tahun 2015, kecenderungan terbanyak terjadi di bulan September 2015 yaitu 1136 Hot Spot atau 43%, dan bulan agustus 2015 sebanyak 773 Hot spot atau 30%, serta oktober sebanyak 517 Hot Spot atau 20%, sisanya di bulan juli 2015.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengemukakan, dari luasan kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 adalah 99% terjadi karena ulah manusia. Sementara dari keseluruhan luas karhutla yang terbakar 80% di antaranya telah menjadi kebun (contan co.id. 10 desember 2019).
Hutan/lahan Gambut di pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di propinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-nya (1.2 juta ha) tersebar di propinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Propinsi Riau sekitars ± 46%. Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua propinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang. Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di Landscape Berbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan beberapa penyebaran di Kabupaten Sarolangun dan Tebo Prop Jambi.
Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.
Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.
Sesungguhnya kerusakan ekosistem gambut menjadi faktor utama penyebab kebakaran hutan, lahan gambut tidak lagi berada pada kondisi normal yang sesungguhnya, karena hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 – 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar
Secara fakta lapangan, ada kecenderungan bahwa banyak hutan dan lahan gambut dimanfaatkan tanpa memperhatikan aspek kelestarian ekosistem gambut itu sendiri, baik untuk kepentingan perkebunan, pertanian maupun kepentingan Kehutanan, serta pembagunan lainnya. Dimana untuk setiap kegiatan tersebut disamping pola dan system vegetasi dan perubahan ekosistem tanpa mempeduli pelestarian ekosistem gambut, bahkan perlakuan upaya pengerigan kawasan gambut menjadi sebuah persyaratan untuk memanfaatkan Kawasan hutan dan lahan gambut tersebut, melalui pembuatan dengan melalukan pembelahan Kawasan/lahan gambut tersebut dibelah dengan pembuatan kanal/kanalisasi sehingga lahan/hutan gambut menjadi sangat kering dan rentan, dan diikuti oleh Cuaca ekstrim El-Nino, dan potensi kebakaran tersebut semakin tinggi, dan diikuti oleh adanya tradisi local yang diperkuat dengan UU NO 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 1 huruf h dan ayat 2, serta pertimbangan economi value untuk pembukaan lahan/kebun melalui pembakaran yang tidak terkendali dan menguntungkan secara ekonomi jangka pendek.
Anggapan dari masyarakat dan pejabat di daerah masih menganggap kebakaran hutan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini sedungguhnya tidak betul, sehingga upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil. Bahkan menurut Saharjo (1999) Secara historis Kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam yaitu mengatakan 99,9 persen kebakaran hutan/lahan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya.
Sehingga Kebakaran hutan dan lahan itu bukanlah “hanya” sebuah proses secara alami semata-mata dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bencana biasa, namun kebakaran hutan dan lahan saat ini, lebih banyak dipengruhi oleh faktor manusianya dan merupakan bencana yang bersifat “luar biasa” dan harus ada political will yang kuat, tidak hanya untuk memadamkan, namun lebih komprehensif untuk mengkaji sebab atau faktor utama pembangunan yang cenderung menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, terutama di wilayah Prioritas.
Dalam dokumen Grand Design Pencegahan Kebakaran Hutan, Kebun dan Lahan yang dikeluarkan oleh Bappenas, dijelaskan dalam 15 tahun terakhir, dari tahun 2000 sampai dengan 2015, puncak titik hotspot melebihi 15.000 terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006, 2009, 2014 dan 2015.
Kebakaran tersebut terjadi baik di dalam konsensi maupun di luar konsensi. Rata-rata titik panas selama periode tersebut 45% terdapat di wilayah konsensi dengan rincian 4% di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA), 23% di areal IUPHHK Hutan Tanaman Industri, sebesar 16% di areal kebun kelapa sawit (KKS) dan 2% diareal tumpang tindih. Adapun luas total kebakara dalam periode 2000 sampai dengan 2015 mencapai 101.791.661 hektar yang terjadi 34% dalam konsensi dan 66% di luar konsensi (Bappenas, 2016 : Budiningsih, 2017)
Sehingga berkaitan dengan bencana asap ini, hendaknya bukan hanya berpikir bagaimana memadamkan api (hot spot dan bukan hot spot) yang menghasilkan asap, melainkan seharusnya ada political will pemerintah baik Pusat maupun pemerintah local untuk melakukan kajian tentang upaya pencegahan atau upaya meminimalkan kebakaran hutan tersebut dengan melakukan langkah-langkah startegis dan menurut penulis adalah sebagai berikut
UPAYA LAW ENFORCEMENT
Upaya penegakan hukum dan penyadaran hukum menjadi kata kunci bagaimana mencegah dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yangbdapatbdilakukan antara lain sbb
melakukan sinkronisasi ketentuan dan perundangan terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan hutan dan lahan
Melakukan fasilitas pembentukan PERDES terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, yang mengarah kepada hokum social budaya berdasarkan adat istiadat setempat
Melakukan tindakan hukum terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, baik melalui upaya refresief maupun upaya pre-entif.
Menjalankan secara baik dan benar serta strategis melalui peraturan pemerintah nomor 4 tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, serta mematuhi Intruksi Presiden nomor 11 tahun 2015 tentang peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Penguatan implementasi Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dimana urusan kehutanan tingkat kabupaten menjadi urusan tingkat provinsi kecuali urusan taman hutan raya
menjalankan maklumat bernomor 022/SPK/BPBD.SS/2019, MAK/04/VII/2019, serta MoU/08/VII/2019 disebutkan perihal dampak kerusakan karhutla bagi lingkungan hidup, gangguan kesehatan, gangguan kegiatan perekonomian, transfortasi dan pendidikan maupun citra Indonesia di mata dunia.
Pemerintah harus serius dalam menajalankan amanat Undang-undang RI nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup dan meninjau kembali pasal 69 ayat 1 huruf h dan ayat 2, serta Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan,
Melakukan moratorium yang ketat untuk pemanfaatan Kawasan hutan gambut.
khusus untuk Provinsi Jambi, evaluasi dan implementasi secara benar dan nyata terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jambi no 2 tahun 2016 tanggal 27 desember 2015 tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Meninjau kembali UU NO 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 1 huruf h dan ayat 2, serta produk turanannya di daerah dalam bentuk PERDA
Penegakan Hukum yang konsisten baik ke pihat swasrta maupun ke pihak masyarakat.
Maka dari itu, adanya regulasi yang harmonis dan sinkron dalam implementasi di tingkat tapak dari berbagai sector yang menjadi pedoman pemanfaatan hutan dan lahan serta penegakan hokum secara benar dan tepat secara spesifik, jelas dan transfaran dalam peningkatan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kebijakan.
UPAYA PEMULIHAN EKOSITEM
Faktor utama penyebab dari bencana oasap akibat kebakaran hutan dan lahan, adalah kerusakan ekosistem gambut akibat pemanfaatan gambut tanpa memperhatikan aspek pelestarian ekosistem gambut, yang mengedepan benefit value dan mengabaikan ecosistem value itu sendiri yaitu terjadinya pengeringan yang sempurna Kawasan gambut terutama musim kemarau dan pengaruh iklim el-nino sehingga kerusakan ekosistem tersebut sebagai pemicu utama.
Untuk pencegahan dan meminimalkan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sescara TTSM (Terencana, terstruktur, signifikan dan massive) menjadi sesuatu keharusan dengan melibatkan para pihak baik pusat maupun daerah secara terintegrasi dan pelibatan masyarakat secara luas.
Sehingga upaya pemulihan ekosistem sangat diperlukan, dengan kegiatan yang sangat diperlukan
Upaya pembasahan (rewetting) Kawasan gambut secara keseluruhan, melalui tehnologi tepat sesuai dengan ekologinya
Penanaman kembali (Replanting atau revegetasi) ecosystem gambut yang rusak melalui kajian yang substansial terkait dengan bentang alam dan ekosistem wilayah tersebut
Sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan pentingnya peranan Kawasan hutan gambut bagi kepentingan manusia
Mengkaji ulang system kanalisasi, atau program blocking kanal sesuai kajian ilmiah
Dari beberapa literatur yang diketahui, ada kecenderungan jika bencana asap yang disebabkan oleh Kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut ini tidak dikelola dengan baik, serta mengabaikan upaya pemulihan ekosistem dan tidak dicegah serta dikurangi, peluang untuk tenglamnya beberapa wilayah menjadi danau atau laut itu sangat besar sekitar >20 tahun yang akan datang.
UPAYA PEMBERDAYAAN DAN PENGUATAN SDM LOCAL
Sebagaimana diketahui bersama bahwa kondisi social ekonomi masyarakat sekitar dan dalam Kawasan hutan gambut cukup memprihatinkan, baik dikeranakan factor transportasi, ekonomi, Pendidikan, kesehatan, sehingga kegiatan pemberdayaan ekonomi dan Sumber Daya Manusia menjadi kegiatan prioritas, tentunya kegiatan pemberdayaan yang berbasis ekonomi dan ekologi yang saling sinergis, serta pelibatan secara utuh kelompok masyarakat terkait dengan kegiatan pemulihan ekosistem, agar mereka merasa memiliki dan sekaligus proses pembelajaran lapangan.
Begitu juga pelibatan masyarakat sebagai petugas lapangan berkaitan dengan pengamanan Kawasan gambut baik sebagai Masyarakat Peduli Api, Masyarakat Mitra Polhut, bahkan keterlibatan mesyarakat secara utuh untuk melindungi Kawasan gambut terutama Kawasan gambut yang berstatus Kawasan Pelestarian Alam.
Pelibatan masyarakat secara terdidik dan terlatih untuk ikut serta aktif dalam pemulihan ekosistem, pemberdayaan, pencegahan dan pemadaman kebakaran di setiap desa, serta menglokasikan dana desa untuk penceahan kebakaran huta dan lahan.
UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Jika kita cermati bahwa periodenisasi el-nino sudah dapat terdeteksi oleh BMKG, sehingga kegiatan bersifat pengendalian kebakaran hutan secara khusus sudah bisa di agendakan, terutama saat pra dan musim el-nino, sehingga diperlukan kegiatan yang bersifat pencegahan dan pemadaman yang bersifat massive dengan melibatkan unsur terkait,
EVALUASI TERHADAP KEBIJAKAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HUTAN GAMBUT YANG SUDAH TERLANJUR
mengkaji ulang system kanalisasi, atau program blocking kanal sesuai kajian ilmiah;
Maratorium pemberian izin pemanfaatan lahan/hutan gambut baik untuk kepentingan Perkebunan, kehutanan, dan pembangunan lainnya yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan pembasahan hutan/lahan gambut;
Memastikan lahan konsesi yang sudah terbakar untuk kembali ke Negara dan merestorasinya
Mengkaji ulang perkebunan baik sawit atau jenis tanaman lainnya dan HTI, pertambangan yang berada di lahan gambut, agar lebih mengedepankan prinsip dan berorientasi ekologi dan lingkungan dalam berusaha.
Dan di perkirakan kegiatan secara TTSM terkait dengan Pemulihan Ekosistem, pemberdayaan dan law enforcement dalam bentuk pre-entif bisa dialkukan mulai tahun 2020, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan dukungan pendanaan dari masing-masing sekor, bahkan jika dilihat dari aspek ketentuan memungkinkah untuk pemanfaatan Dana Desa mendukung kegiatan tersebut.