opini

Demokrasi Berdimensi Ecokrasi

DEMOKRASI BERDIMENSI ECOKRASI

(Manusia dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan yang saling ketergantungan)
By Syamsul Bahri, SE dan Chairul Anwar, SH

(Conservationis di  Jambi)

Suasana perpolitikan di Indonesia saat ini semakin panas dan hangat sebagai sebuah konsekuensi dan proses Pemilu serentak tahun 2019, sebagai amanat daru UU No 7 tahun 2017 tentang Pemiliu,untuk merebut dan menduduki kursi legislatif dan kursi Kepresidenan  yaitu calon presiden dan calon wakil presiden,dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga beberapa partai melakukan koalisi dan memberikan kesan koalisi yang tidak berdasarkan flatform dan basis partai, melainkan koalisi semu yang memilki kecenderungan perbedaan falt form dan basis partai

Kondisi perpolitikan tersebut memberi kesan pemlilihan Presiden lebih hangat dan dan panas, apalagi setelah terbentuk 2 kubu pengusung dan pendukung pasangan Calon Presiden (saat ini masih berstatus Bakal Calon) yaitu pasangan Patahana dan pasangan penantang/oposisi, yang dikenal dengan pasangan Jokowi+amin dan pasangan Prabowo+Sandi, dibandingkan dengan Pemilihan anggota Legeslatif, yang cenderung diam dan dingin.

Kondisi yang terlihat saat ini, semuanya berorientasi pada kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, tanpa melihat platform yang selama ini menjadi pemisah antara nasionalis dan agamais,ini sebuah indikasi bahwa bahwa demokrasi politik kekuasaan di Indonesia berorientasi pada hanya pada manusia sebagai titik sentral “anthroposentris”, memiliki kecenderung pada kekuasaan mengatasnamakan rakyat, dengan dukungan dari rakyat dan belum tentu untuk rakyat.

Dimana pola pemikiran antroprocentric (manusia) yang mengabaikan peran ekosistem atau lingkungan sebagai penyedia sumberdaya sekaligus penerima limbah dari kegiatan ekonomi. Hal ini lumrah bagi mereka yang memberi ‘penilaian yang rendah’ terhadap proses-proses ekosistem sebagai penyedia sumberdaya maupun sebagai penyerap limbah kegiatan ekonomi.

Dari Kontek demokrasi, walaupun atas nama rakyat, sesuai pengertian demokrasi, namun dari banyak pengalaman yang telah ada, selama ini rakyat hanya diatasnamakan dan diwakilkan, namun fakta yang terjadi adalah bahwa kemiskinan dan rakyat miskin semakin susah dientaskan, semakin lapar, semakin muncul bermacam penyakit di masyarakat, semakin banyak musibah dan bencana alam, semakin jauh jarak kaya dan miskin, semakin banyak orang kaya baru, semakin terkurasnya sumberdaya alam yang menjadi ancaman kemiskinan yang berkepanjangan dan berkelanjutan, semakin banyak kekayaan dijadikan dasar kekuasaan baik kekuasaan dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik, semakin langkanya idealisme, semakin marjinalnya ketokohan, dan semakin kuasanya uang.

Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pemilu serentak tahun 2019 ini, yang selanjutnya memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Bahwa demokrasi di Indonesia seharusnya  demokrasi Pancasila, namun dalam pelaksanaannya lebih kepada Demokrasi liberal atau demokrai kapitalise pasar, yang dilakukan selama ini yang cenderung memandang Sumber Daya Alam dan manusia sebagai faktor produksi dan aset ekonomi, yang mengabaikan penerapan gagasan kedaulatan lingkungan bersama dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam bingkai negara.

Sadar atau tidak sadar bahwa kerusakan lingkungan dan kerusakan hutan, bencana alam, kebakaran hutan yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat saat ini, yang dilanjutkan dengan krisis pangan, penyakit, krisis moral, ekonomi

Mempertimbangkan kerusakan lingkungan hidup/ekosistem yang semakin nyata sebagai buah dari kapitalisme pasar yang cenderung memandang alam sebagai faktor produksi dan aset ekonomi, penerapan gagasan kedaulatan lingkungan bersama dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam bingkai negara mutlak dilakukan. Yang harus digali lebih dalam adalah bagaimana operasionalisasinya dalam kehidupan bernegara?.

Diharapkan Demokrasi berdimensi ecokrasi yang memandang alam dan manusia merupakan suatu kesatuan yang saling ketergantungan dan menjadikan manusia bagian dari lingkungan bahkan bagian dari pengelolaan yang bijak dalam ekonomi dan bijak dalam ekologi, dan demokasi berdimensi ecokrasi sebagainarasi alternatif atas gagasan mengenai relasi kekuasaan yang menurunkan derajat antroposentris, kapitalistik, dan cenderung memandang alam sebatas objek untuk akumulasi kekayaan semata-mata, yang lebih bijak melihat planet ini sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak berdiri sendiri.

Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam.

Sedangkan demokrasi yang berdimensi ecokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus.

Demokrasi yang berdimensi ekokasi berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Pimpinan politik yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi ekokrasiakan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung public atau rakyat semata-mata, tetapi juga berlegitimasi ekologi yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.

Hal tersebut dikarenakan demokrasi berdimensi ecokrasiakan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir di Jakarta, kekeringan di sejumlah daerah sehingga gagal panen.
Mungkinkah muncul pemimpin atau politisi dalam demokrasi berdimensi ekokrasi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu legislatif, sangat sedikit politisi yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi ekokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat.

Di sinilah ekokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indensia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).

Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.
Dan dengan pengamatan baik dalam pelaksanaan pra pileg dan hasil pileg maupun dalam debat Capres dan wapres, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.

Masyarakat dan Pemilih Indonesia pada Pilpres dan Pileg tahun 2019 yang akan datang secara serentak, sebagai sebuah negara yang terletak di bawah garis khatulistiwa dan negara agraris serta sebagai negara mega biodiversityseyogyannyamemilih para calon pemimpin bangsa ke depan yang berani berkomitmen membangun pemerintahan ekokratis. Pemerintahan ekokrasi adalah pemerintahan yang memiliki visi pembangunan bangsa yang berlandaskan pada kepedulian lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button