Oleh: Masrur Irsyad
Seperti judulnya, penulis acapkali bertanya untuk apa sebenarnya kita, anda dan mereka semua merayakan pergantian tahun? Pernahkah kita melihat, ada orang yang rela menunggu tepat jam 12.00 malam sejak matahari tenggelam untuk meniupkan terompet, tanda bahwa mereka telah memasuki tahun baru, periode baru, dan katanya momen untuk memompa semangat dan jadi pribadi baru.
Kegiatan yang kalau dicermati terlihat “aneh”, tapi banyak orang yang melakukannya di berbagai tempat, dalam berbagai bentuk, dari yang dilakukan dengan tetap beretika sampai melupakannya, bankan melanggar ajaran agama. Ada yang memilih melaksanakannya di gunung, pantai, objek wisata, alun-alun, stadion, sampai atas genteng. Ada yang melaksanakannya sambil bersama keluarga, pasangan, pacar, temen-teman, dan masih banyak lagi. Kesemuanya pada intinya sedang merayakan suka cita karena mereka telah berhasil memasuki tahun baru, pada kali ini nanti adalah tahun 2016.
Perayaan tahun baru sebenarnya dirayakan dengan serius loh oleh lembaga yang sangat bergantung kepada penanggalan masehi. Terutama lembaga yang berelasi internasional. Seperti lembaga ekonomi bisnis marekanya dengan mengevaluasi perkembangan bisnis tahun ini, naik atau turun, untuk atau rugi, lalu dijadikan “resolusi” untuk menghadapi tahun 2016. Saya pernah melihat berita penutupan saham Bursa Efek Indonesia (Indonesian Stock Exchange) di Jakarta, mereka merayakannya dengan acara tiup terompet sebagai simbol dan doa agar mendapatkan keuntungan yang lebih di tahun mendatang.
Pernah ada yang bertanya, apa hukumnya merayakan tahun baru? Sebagian netizen memilih berkata tidak untuk tahun baru. Pasalnya ada hadis Nabi yang mengatakan,Man Tasyabbaha Bi qowmin, Fahuwa Minhum yang artinya ‘Barang siapa yang meniru suatu kelompok, maka ia termasuk bagian kelompok itu secara tidak langsung’.
Perayaan tahun baru dianggap tradisi umat kristiani, maka jika ada umat Islam yang ikut-ikutan merayakannya, secara tidak langsung dia sudah mengikhlaskan dirinya untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya maksud hadis Nabi yang dikutip oleh netizen anti perayaan tahun baru. Apakah benar maksudnya seperti itu jika ditelisik dari ilmu hadis?
Hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad, Mushannaf Abi Syaibah, dan lain-lain. Ulama berbeda pendapat mengenai kualitas hadis ini, ada yang menshahihkannya dan ada pula yang melemahkannya. Hadis ini dinilai lemah karena di dalam silsilah sanadnya ada rawi (informan) yang bernama Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban.
Ia dikenal sebagai orang shaleh, zuhud, dan terpercaya (tsiqah), namun di penghujung usianya kualitas ingatan dan hafalannya mulai berubah, taghayyaran fi akhirihi. Al-Bani mengatakan, al-Bukhari pernah mengumpulkan hadis-hadis riwayat Abdurrahman bin Tsauban yang diriwayatkan ketika ingatannya masih kuat. Sedangkan hadis yang kita bicarakan ini tidak ada dalam kumpulan hadis al-Bukhari tersebut.
Dengan demikian, ada kemungkinan bila hadis ini diriwayatkan ketika ingatan Abdurrahman mulai melemah. Maka dari itu, sebagian ulama mendhaifkan hadis ini, sementara al-Bani tetap menguatkan hadis ini karena ada riwayat lain yang mendukung maknanya. Sehingga status hadisnya berubah menjadi hasan li ghairihi, yatiu hadis dhaif yang kualitasnya meningkat lantaran ada hadis shohih lain yang mendukungnya.
Adhim Abadi, penulis kitab ‘Aunul Ma’bud, menjelaskan bahwa hadis ini bermakna umum dan tidak hanya dibatasi dengan meniru prilaku non-muslim. Jadi siapa saja yang meniru gaya, prilaku, dan model suatu kelompok, maka secara tidak langsung dia sudah menjadi bagian dari kelompok yang mereka tiru, termasuk dalam hal ini gaya berpakaian. Akan tetapi, hal ini bukan berarti sama sekali kita tidak boleh meniru gaya dan model kelompok lain, sebab jika dipahami seperti ini alangkah sempitnya dunia ini.
Bagaimana tidak, dengan keterbukaan informasi dan pergaulan, saling meniru antar satu kelompok dengan kelompok lain itu sangat sulit dihindari. Kalau kita boleh jujur, ada banyak hal yang kita tiru dari orang non-muslim, terutama dalam masalah ilmu pengetahuan.
Lantas apakah serta merta peniruan itu langsung diklaim sebagai kefasikan? Tentu tidak. Sebab dalam beberapa hadis juga disebutkan bahwa Nabi juga suka menyisir rambutnya dengan gaya dan model sisiran rambut orang Yahudi. Artinya, tidak semua peniruan dimaknakan negatif, terkutuk, dan tercela.
Jika dicermati lebih dalam, sebenarnya titik tekan hadis ini lebih kepada subtansi yang kita tiru. Maksudnya, meniru gaya dan aktivitas kelompok lain itu diperbolehkan selama itu baik dan tidak melenceng dari koredor syariat dan yang tidak diperbolehkan itu adalah meniru keburukan kelompok lain.
Bagi kita umat Islam, mungkin acara perayaan tahun baru masehinya perlu dimodifikasi. Misalnya, dengan mengadakan pengajian, dzikir, seminar, atau bisa juga dengan acara budaya dan hiburan yang lebih bermanfaat untuk perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia ke depannya.
Selamat Tahun Baru.
Masrur Irsyad, Peneliti di El-Bukhari Insitutte, lembaga yang peduli pada penelitian Ilmu-ilmu Hadis. Alumni Fakultas Dirasah Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.