MENGENAL KARATERISTIK SUKU ANAK DALAM

Kerincitime.co.id – Jambi ,Spesifikasi Komunitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam ini tinggal di hulu sungai-sungai kecil dan sebagian hidup di hutan-hutan dan berdekatan dengan desa orang Melayu (penduduk asli) atau di kawasan bekas unit pemukiman transmigrasi. Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil yang yang ada di nusantara, Muclas (1975) menyebutkan tentang kehidupan Suku Anak Dalam yakni, anak dalam artinya rakyat pedalaman, Kubu artinya bertahan atau pertahanan, maka Orang Kubu artinya orang yang mengasingkan diri atau orang yang bertahan.
MENGENAL KARATERISTIK SUKU ANAK DALAM
Hutan (rimbo) bagi mereka merupakan kawasan perkampungan, daerah jelajah, tempat berburu, tempat beraktifitas dan beranak pinak dengan arti kata lain hutan adalah segala-galanya bagi mereka. Hutan bagi mereka adalah “genah bapenghidupon” artinya adalah tempat mempertahankan hidup. Mereka menjaga hutan adalah merupakan sebuah kewajiban yang diwariskan secara turun-temurun. Mereka hidup dalam tatanan hukum adat yang kuat dengan budaya yang sangat tertutup.
Mereka ini hidup berkelompok antara 3-10 rumah tangga, antara satu kelompok dengan kelompok lain hidup berpencar-pencar, dalam satu wilayah adat atau kepemimpinan yang disebut Temenggung. Biasanya antara satu kelompok rumah tangga dengan kelompok rumah tangga yang lain dalam satu kawasan ada hubungan kekerabatan karena dasar pembentukkan kelompok adalah adat uxorilokal, dimana pasangan yang baru berumah tangga (kawin) menetap di dekat kerabat istrinya.
Secara umum mata pencarian mereka adalah berburu, meramu, dan berladang. Akhir-akhir ini sejumlah warga mulai belajar hidup menetap dan membuka ladang atau kebun karet. Perburuan labi-labi (ikan bulan) merupakan salah satu mata pencarian yang cukup penting sejak kurun waktu 15-20 tahun yang lampau. Di samping itu, mereka juga melakukan perburuan terhadap binatang liar lainnya, seperti babi, ular, biawak, napuh, rusa, dll.
Hewan babi bagi orang kampung (desa) merupakan hama, namun mereka merupakan penghasilan untuk dikonsumsikan (kaki, isi perut, dan kepalanya), sedangkan dagingnya saat ini ditampung oleh sejumlah pedagang pengumpul bahkan dijadikan komoditas ekspor. Komonitas Adat Terpencil Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi umumnya sulit diatur, mereka terbiasa hidup bebas di hutan belantara, mereka terbiasa hidup nomaden (berpindah-pindah) dan bila ada salah anggota keluarga meninggal dunia, maka kelompok tersebut akan berpindah ke wilayah hutan lain. Kebiasaan ini disebut dengan ”melangun”. Secara umum mereka ini masih berpakaian minim, bagi laki-laki hanya memakai cawat penutup alat kelamin, sedangkan wanita hanya memakai kain seadanya, mereka terlihat kumuh, sehingga terkadang tampak tidak dianggap manusia, meraka tidak ubahnya bagaikan sisa-sisa peradaban manusia masa lampau.
C.J. Van Dongen dalam bukunya mengungkapkan, watak Orang Kubu (Suku Anak Dalam) adalah tidak menyukai pekerjaan, mereka sulit untuk diatur, mereka mempunyai kencenderungan untuk mengembara dan meramu hasil hutan. Pada masa imperealisme Suku Kubu enggan bekerja teratur. Sangat jarang dan hampir tidak pernah ada mereka yang menyewakan diri (menjadi buruh), menjadi kuli di perusahaan atau pekerbunan. Menurut pandangan mereka jika bekerja menjadi kuli akan lekas mati karena orang yang bermandi keringat oleh pekerjaan berat seperti bekerja di perusahaan minyak akan hilang kuat.
Kencenderungan mereka adalah selalu ingin dekat dengan hutan, mereka lebih suka hidup bebas di hutan, mereka mendirikan pondok di hutan, dan dengan persiapan sedikit beras mereka memasak nasi, sementara untuk lauk-pauknya mereka memancing dan menangkap ikan kecil dan udang dengan sebuah bubu kecil yang terbuat dari bahan sederhana yang diperoleh dari hutan. Ikan-ikan yang mereka tangkap itu dibelah membujur dan dijepit berderet antara dua bilah bambu lalu dipanggang sebentar di atas api. Setelah cukup masak mereka menyantap makanan dengan lahap. Mereka yang nyaris tanpa busana menikmati makanan sambil menikmati hembusan semilir angin sepoi di tepi sebuah sungai atau dekat sudung tempat mereka tinggal.
Jika ada pohon yang berbuah, mereka akan mengambil, mengumpulkan, dan menyantapnya. Selesai makan mereka menggulungkan sebatang rokok, menyalakannya, sambil tidur-tiduran mereka menghisap rokok dan menghisap asap rokok. Jika ada orang yang melewati lokasi itu sertamerta mereka bangun untuk menunjukkan bahwa mereka sudah kenyang dan makanan yang baru selesai disantap terasa nikmat dan enak betul serta sengaja memperlihatkan diri betul-betul senang dan bahagia.
Dalam tulisnnya C.J. Van Dongen menyebutkan Orang Kubu (Suku Anak Dalam) memiliki bentuk dasar tubuh yang agak berbeda dengan warga pribumi lainnya diluar komunitas mereka. Pada umumnya kulit mereka berwarna agak lebih gelap. Sebagian besar di antara mereka menderita penyakit kulit (penyakit loksong atau bersisik halus) atau sejenis penyakit kurap yang sudah kronis. Kepala dan wajah mereka agak lebih panjang, tidak bulat seperti kebanyakan orang dusun (desa) masyarakat pribumi lainnya. Tubuh mereka sebagian besar lebih langsing, lebih kurus, dan terlihat kurang kuat. Penampilan terlihat agak lemah seperti kekurangan makan atau setengah kelaparan karena mereka tidak mendapatkan makanan yang berimbang, sehingga terlihat seperti kekurangan gizi. Mereka mempunyai roman wajah yang agak lembut, sorotan mata agak liar. Terhadap orang asing mereka cenderung menghindar dan menyendiri, namun di antara sesama mereka selalu ceria riang gembira. Telapak kaki mereka lebih lebar dan besar dibandingkan masyarakat lain, datar, dan antara jari-jemari kaki terpisah lebar. Sikap tubuh membungkuk ke depan.
Postur tubuh wanita tampak lebih ramping dan kecil. Paras wajahnya tidak jelek dan bila sudah memiliki anak wajahnya tampak semakin lebih tua. Pakaian mereka berupa cawat sekedar untuk menutup alat vital tubuh, rambut terlihat hitam legam dan dibiarkan terurai. Anak-anak yang belum dewasa atau perempuan yang belum dapat dipersuamikan tidak menggunakan pakaian, mereka menggunakan cawat. Payudara perempuan dibiarkan terbuka tanpa penutup.
Masyarakat pedalaman Jambi ini di samping memiliki adat yang kuat juga memiliki banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan, dilihat, dan diiucapkan, jika ini dilanggar akan mendatangkan malapetaka. Pantangan yang masih berkembang di dalam komunitas ini antara lain adalah, sangat dilarang bagi seorang wanita hamil atau seorang anak kecil melihat jenazah (mayat). Jika ini dilanggar mereka meyakini anak yang dilahirkan atau anak kecil itu akan disambar penyakit ”nyeladang bangkai” atau semacam peyakit lumpuh yang membuat dia tidak bisa berjalan atau tidak bisa duduk, penderita hanya mampu tidur terbaring, terbujur, dan tidak mampu bergerak.
Seorang pria dilarang dekat dengan perempuan hamil dan berbicara dengan menggunakan kata siamang atau ungko. Jika ini dilanggar maka akan terjadi musibah, yakni bila perempuan itu melahirkan akan terjadi peristiwa kematian berdarah atau bayi yang dilahirkan oleh perempuan tersebut akan menyerupai kera atau ungko. Sebenarnya masih banyak lagi pantangan lainnya yang tidak boleh mereka dilanggar.
Di mata sebagian orang luar yang mereka sebut Orang Terang, kehidupan Suku Anak Dalam diselimuti dengan berbagai mitos dan misteri. Mereka dianggap menyimpan mantra dan jimat atau disebut ”bebesel“. Mereka beranggapan bahwa bebesel tersebut dapat menjadi pelindung bagi keberadaan diri mereka dan dapat pula digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit serta menolak bala.
Hampir sebagian besar mereka yang sudah dewasa memiliki jimat atau bebesel. Biasanya jimat itu terbuat dari sepotong ranting kayu atau benda-benda lain yang mengandung unsur logam dan batu serta diyakini memiliki kekuataan tertentu. Oleh sebagian masyarakat luar, mereka sangat mempercayai bahwa masyarakat primitif jambi yakni Suku Anak Dalam memiliki minyak pelet yang konon dapat membuat seorang wanita jatuh cinta secara tiba-tiba. Minyak pelet tersebut konon dibuat dari air sperma gajah (mani gajah) yang dicampur dengan minyak kelapa hijau dan kemenyan putih atau sejenis getah yang berbau harum (gaharu). Bahan-bahan tersebut dimasak di tengah-tengah jalan setapak dalam rimba yang bersimpang tiga. Sebelum dipergunakan ramuan pelet itu harus dijampi-jampi oleh seorang dukun atau malin. Kemudian minyak yang sudah di jampi itu sudah bisa dimanfaatkan. Misalnya, dioles pada bagian tubuh perempuan yang ditaksir. Di samping pelet itu, seorang pemakai juga diberikan jimat pengasih dari sang dukun dan mantera-mantera. Jimat itu disebut dengan istilah “taruh nikmat”.
Bahan pelet pengasih juga dapat terbuat dari sarang burung cinta kasih. Sarang burung cinta kasih diambil di ujung ranting pohon besar di tengah hutan belantara. Sarang burung cinta kasih berbentuk kapas sebesar dua kali ibu jari. Sarang burung cinta kasih diberikan kepada peminat dan dibawa ke mana pergi.
Jimat lain adalah “giginyaru” sebuah batu yang berwarna kecoklatan yang sudah diasah dan dijadikan batu cincin. Jimat ini mereka yakini dapat menangkal marabahaya dan menjadi tangkal penolak jin brail atau roh-roh jahat yang bersemayam di dalam jantung manusia. Selain itu, tali pusat bayi yang telah dikeringkan dan dibungkus dengan kulit kayu atau kain putih dijadikan kalung dan dipakai.
Suku Anak Dalam dikenal sebagai masyarakat primitif dan merupakan sisa peradaban masa lampau, ketergantungan mereka terhadap alam sangat besar. Potensi hutan dengan hewan-hewan buruan merupakan aset yang harus dijaga dan nanti dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Sejak ratusan tahun yang lalu mereka memanfaatkan potensi hutan untuk mengatasi permasalahan kesehatan. Bermacam jenis tanaman dan akar-akaran dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengatasi gangguan kesehatan. Di samping tanaman, sejumlah organ penting hewan juga mereka manfaatkan untuk pengobatan secara tradisional, daging dan bagian lain dari tubuh hewan setelah diramu dijadikan sebagai obat yang memiliki banyak khasiat. Hati dan daging harimau dapat menyembuhkan penyakit kulit rubah terbang atau kubung. Kulit yang berbintik-bintik indah dan cakar yang runcing digunakan sebagai bahan obat, hati beruang dan organ vital (kemaluan) berbagai jenis binatang memiliki khasiat untuk penyakit lemah syahwat, kikisan email kerang/bekicot dapat mengobati penyakit gusi dan gigi.
Akibat degradasi hutan, perambahan hutan, pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, dan pembangunan pemukiman transmigrasi membuat komunitas ini cenderung mengalami depresi mental. Kehidupan mereka semakin terdesak, bahkan saat ini mereka terutama yang hidup di luar kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas hidup tak menentu dan kerap menjadi persoalan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Degradasi hutan dan illegal loging merupakan ancaman serius bagi mereka. Jika hutan rusak itu berarti bencana dan kiamat telah terjadi. Mantan temenggung Air Hitam Tarib (Muhammad Jailani) menyebutkan ”Dulu tanah kami ado, kinilah hopy, awak mohon kepado rajo, supayo rimbo godong nio dipertahonkan untuk penghidupon anak cucung kami.”
Akhir-akhir ini akibat kerusakan hutan dan pengaruh budaya luar serta adanya pemberdayaan yang dilakukan Pemerintah, LSM Kopsad, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakaat yang didanai oleh negara donor dan sekelompok misionaris, maka sejumlah warga Suku Anak Dalam mulai hidup bermasyarakat dan bermukim secara tetap. Sebagian diantaranya mulai membuat kebun karet dan beberapa puluh kepala keluarga sudah meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka dengan memeluk salah satu Agama. Secara umum, mereka di kawasan Makekal Taman Nasional Bukit Dua Belas dan hutan adat Bukit Bulan, Kecamatan Limun masih sangat tergantung dengan alam dan persediaan hasil hutan. Mereka mengonsumsi makanan jenis umbi-umbian, seperti tubo ubi, gadung, jenggot, kona, ubi kusut, umbi banar, dan ubi bayas.
Semua bahan makanan tersebut mereka olah di tempat mereka tinggal atau di sudung yang mereka huni. Bahan makanan itu mereka peroleh dari dalam hutan. Apabila persediaan makanan di tempat mereka mendirikan sudung-sudung tersebut habis maka mereka akan pindah ke kawasan hutan lain yang masih memiliki persediaan hasil hutan yang memadai. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lainnya selalu se arah dari timur ke barat atau dari barat ke timur, mereka menyebutnya dari arah matahari hidup (matahari terbit) ke matahari mati (matahari terbenam) dan sebaliknya jarang dan bahkan tidak pernah mereka pindah dari arah yang berlawanan. Keadaan ini terjadi karena menurut kepercayaan yang diyakini, mereka tidak akan mendapat rezeki atau sumber bahan pangan jika mereka ”melintang purbo “ (menentang arah).
Untuk mengolah bahan makanan sampai dikonsumsi, mereka menggunakan peralatan yang biasa digunakan untuk pengolah bahan makanan, antara lain, parang, ambung, lantingan, pisau, kuali, dan periuk. Semua alat ini adalah alat yang mereka terima dari nenek moyang, kendatipun saat ini akibat dari pengaruh luar alat-alat memasak telah mereka beli dari masyarakat luar (Orang Desa).(Nurul.AP.Budhi) “diulas oleh kerincitime”