Nasional

Pentingnya Pendidikan Karakter

Karakter bangsa Indonesia semakin terpuruk dan mengarah kepada nihilisme dan tidak bermoral. Kita semakin banyak menyaksikan kejadian-kejadian yang sangat miris, kejam, dan memalukan (amoral). Masyarakat seolah tidak punya hati nurani lagi, membunuh, berlaku kejam dan menindas yang lemah serta tidak merasa malu lagi dalam menghalalkan semua cara, siswa/mahasiswa menyontek, pendidik melakukan plagiat, ijazah S1,  S2 dan S3 begitu mudahnya diperoleh bangsa ini. Sampai-sampai ada pula yang mendapat gelar S3 secara hermaprodite. Belum lagi kasus-kasus korupsi yang terjadi bukan hanya di lembaga keuangan, tetapi juga di lembaga-lembaga yang seharus lebih concern dalam hal pembentukan moral dan karakter bangsa, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, atau lembaga-lembaga pengembangan sumber daya manusia. Kasus lain adalah tawuran antara siswa, antar gang, antar warga dan yang lebih memalukan antar mahasiswa antar fakultas dalam satu universitas. Belum lagi demonstrasi yang dilakukan secara anarkis oleh oknum aktivis (include mahasiswa). Padahal mahasiswa dalam katagori elite termasuk elite intelektual, tapi kelakuan mencerminkan kelakuan bar-baran alias tidak beradab dan bermartabat. Ini cerminan gagalnya pendidikan, siswa dan mahasiswa mungkin lebih banyak mendapat porsi pengajaran ketimbang pendidikan. Penulis mensinyalir ada proses yang salah dalam pendidikan. Pendidikan yang lebih menekankan aspek knowing ketimbang feeling dan experiencing.

Penting Pendidikan Karakter

Bung Hatta ketika pidato pada hari Alumni I Universitas Indonesia (11 Juni 1957) tentang tanggung jawab moril Kaum Intelegensia  mengemukakan bahwa : Apabila membentuk manusia susila dan demokratis yang insaf akan tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat nasional dan dunia seluruhnya menjadi tujuan yang terutama dari Perguruan Tinggi, maka titik berat dari pendidikannya terletak pada pembentukan karakter, watak.

Martin Luther King Jr (speech on steps of Lincoln Memorial Civil Right, March, 23 August 1963) : I have a dream today…. I have a dream that my four children one day in nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character, I have a dream. Bahkan dalam tujuan pendidikan nasional sebenarnya secarat implicit sudah dicantumkan tentang pendidikan karakter bangsa, hanya saja dalam implementasinya belumlah seseuai dengan harapan. Mari kita petik kembali tujuan pendidikan nasional  menurut UU nomor 20 tahun 2003 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta  peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa………

Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan menciptakan siswa, mahasiswa yang memiliki (a) .  (kerendahan hati). Diharapkan jika mereka menjadi public service : tidak mentang-mentang (ojo dumeh) dengan lebih mengedepankan hak-hak client,  apa lagi dengan teganya memeras client-nya., (b) courage (keberanian). Diharapkan peserta setelah memperoleh pendidikan mereka benar-benar punya keberanian menegakkan kebenaran. Bukankah kegagalan utama  system politik di Indonesia karena lemahnya penegakan hukum (law inforcement)? (c) integrity (kejujuran/ketulusan/keutuhan). Diharapkan dalam memberikan pelayanan bersifat tulus tanpa pamrih dan tidak korup, (d)  compassion (rasa haru/belas kasihan). Diharapkan memiliki rasa perikemanusian, mudah berempati dengan kesedihan dan kesusahan orang lain, tidak gampang menyakiti (fisik) orang lain , (e) humour (kejenakaan); diharapkan tidak gampang tersinggung dan tidak kaku, (f) passion (semangat), senantiasa bekerja dengan etos kerja yang tinggi dalam upaya meningkatkan produktivitas  dan (g) wisdom (kebijakan), diharapkan mampu bersikap obyektif  dengan mempertimbang kondisi real yang terjadi sehingga tidak mencedarai perasaan orang lain.

Rekomendasi

Lembaga pendidikan yang belum memasukkan pendidikan karakter  (character building) dalam kurikulum tidak dapat ditawar-tawar lagi harus segera menerapkannya secara baik dan benar, dan bagi lembaga pendikan yang sudah menerapkan pendidikan karakter ini selalu berupaya melakukan reaktualisasi dengan memperhatikan proses pembelajaran melalui mekanisme knowing, feeling dan experiencing.

Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah dan Ketua Pelanta (NIA. 201307002)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button