Siapa Pemilik Ladang Kentang di Kawasan TNKS?
Kerincitime.co.id, Berita Kerinci – Pernahkah berpikir darimana kentang yang Anda makan? Bisa jadi kentang itu berasal dari ladang di Kerinci, Jambi, yang masuk Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Belasan tahun lalu orang-orang membabat hutan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) kemudian jadi petakan-petakan kecil untuk ladang sayur. Belakangan, para pemodal ikut ambil bagian dengan menanam ‘saham’, bahkan mereka punya lahan luas di dalam kawasan hutan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi menunjukkan, produksi kentang di Jambi tahun 2021 mencapai 129.336 ton, terbesar kelima se Indonesia. Lebih dari 94% kentang di Jambi dari ladang di Kerinci. Luas tanaman kentang di Kerinci terus meningkat. Pada 2015 luas 3.345 hektar, naik jadi 4.482 hektar pada 2016, dan 2020 bertambah jadi 5.630 hektar.
Pemerintah membuka peluang kemitraan konservasi untuk pemulihan ekosistem. Haidir, Kepala Balai Besar TNKS mengatakan, sudah membentuk 193 kelompok tani hutan (KTH) selama periode 2018-2020, dengan luas 5.000 hektar. Baru 38 KTH sampai tahap perjanjian kerja sama (PKS). Sekitar 28 KTH baru diajukan ke tim Satlakwasdal. Sekitar 127 KTH masih menunggu verifikasi. Setidaknya, perlu 4.000 KTH untuk memulihan area terbuka di TNKS.
Dilansir mongabay.co.id, menelusuri rantai perdagangan kentang di Kecamatan Kayu Aro, Kayu Aro Barat dan Kecamatan Gunung Kerinci dari ladang sayur di dalam kawasan hutan. Perdagangan ini melibatkan banyak orang dari berbagai latarbelakang, mulai petani kecil, tauke kentang, tuan tanah, pengusaha, aparat keamanan hingga pejabat daerah.
Saban hari belasan hingga puluhan ton kentang dari Kerinci membanjiri pasar-pasar di Kota Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Tangerang hingga Jakarta. Dari sana, kentang itu menyebar ke banyak rumah makan, restoran cepat saji, dan mungkin ada di piring Anda.
Sebuah rumah makan khas Minang di Kota Jambi, sesak pengunjung. Di sebelah kiri dari pintu masuk rombongan pegawai pemerintah sibuk bersantap siang. Tak jauh dari sana, sekelompok pria duduk menghadap meja penuh lauk sedang membicarakan sesuatu, sesekali mereka tergelak. Saya duduk di samping seorang ibu sedang menyuapi anaknya makan. Seorang pegawai rumah makan menghampiri saya.
“Mau dihidang?”
“Iya,” jawab saya.
Sekejap bermacam lauk langsung tersaji di meja. Salah satu menu adalah perkedel yang terbuat dari olahan kentang.
Saban hari, rumah makan ini dan jaringannya bisa menghabiskan belasan kilogram kentang hanya untuk membuat perkedel. Mereka membeli kentang dari pedagang di Pasar Angso Duo, Kota Jambi.
Pada 15 Maret sore, sebuah truk bermuatan delapan ton sayuran dari Kerinci, masuk Pasar Angso Duo. Puluhan karung kentang seberat 40-45 kilogram diecer ke lapak pedagang.
Saya menemui pria Minang yang tengah santai di sebuah toko kecil di pasar. Orang memanggilnya Uda Heri. Dia salah satu pemasok sayuran ke Pasar Angso Duo dan Talang Banjar. Ada 25-30 pedagang jadi pelanggannya. Setiap hari dia menyuplai 3-4 ton kentang dari Kerinci.
“Kalau kentang di Kota Jambi mayoritas dari Kerinci semuo. Kalau lagi kurang, baru ambil dari Medan,” katanya.
Kebutuhan kentang di pasar Kota Jambi ditaksir mencapai 15 ton setiap hari, dipasok dari 4-5 pedagang sayur besar, termasuk Heri.
“Rumah makan ngambil kalau harga kentang lagi mahal. Biasanya langsung sekarung, kadang lebih. Kalau harga normal, mereka ngambil dari pengecer,” katanya.
Heri tidak mengambil sayuran langsung dari petani di Kerinci, tetapi melalui Andri, tauke sayur di Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci.
Setiap hari Andri mengirim 7,5-8 ton sayuran campur ke Pasar Angso Duo. Dia juga menyuplai agen sayur di Pasar Induk Talang Gulo. Dalam seminggu bisa kirim 4-5 kali.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi menunjukkan, produksi kentang di Jambi tahun 2021 mencapai 129.336 ton, terbesar kelima se Indonesia. Lebih dari 94% kentang di Jambi dari ladang di Kerinci.
Luas tanaman kentang di Kerinci terus meningkat. Pada 2015 luas 3.345 hektar, naik jadi 4.482 hektar pada 2016, dan 2020 bertambah jadi 5.630 hektar.
Ladang sayur di Kerinci berkembang pesat ketika harga kayu manis ambruk. Mulai 1997 harga kayu manis terjun bebas, semula Rp7.000 per kilogram jadi Rp2.500. Pamor kulit manis Kerinci yang dikenal terbaik di dunia, meredup.
Sejak 1940-an hingga 1995, kayu manis Kerinci begitu populer. Saat itu harga satu kilogram kayu manis di pasar lokal setara harga 50 kilogram beras. Sekali panen, warga Kerinci bisa membangun rumah bahkan membeli mobil baru.
Hancurnya harga kayu manis membuat ekonomi masyarakat morat-marit. Banyak kebun tidak terurus, sebagian ditebang jadi ladang sayur yang mulai menjanjikan. Sejak itu, perambahan di kawasan taman nasional banyak terjadi.
Penjarahan Taman Nasional
Anjing beagle dominan hitam menatap tajam penuh waspada. Langkah kakinya tampak gusar. Ia berusaha mendekat. Saya berhenti. Ia juga berhenti. Sesekali gongongan terdengar menyentak, seakan memperingatkan saya untuk tidak mendekat. Seorang pria muncul dari balik gubuk, melihat kami berjalan.
Kami terus berjalan mendekati sungai. Di balik hutan Bukit Mageger nan rimbun, di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, suara gergaji mesin terdengar meraung-raung memecah kesunyian. Di pinggiran sungai beberapa tumpukan kayu papan tertutup rumput, seperti sengaja disembunyikan. Saya ingin memotretnya diam-diam.
“Ojo difoto, kita lagi diawasi iki,” kata Warto, bukan nama sebenarnya. Seorang tengah mengamati kami dari balik gubuk.
Tumpukan papan itu sekitar tiga kubik. Sudah sebulan belum juga diangkut. Para pembalak tahu mereka tengah diawasi petugas.
Warto cerita, belum lama ini ada pelaku pembalakan liar ditangkap saat gesek kayu. Dia minta saya hati-hati karena situasi rawan.
Kami kemudian berjalan sedikit cepat. Jarak beberapa puluh meter ada yang menanyai kami.
“Soko ngendi?” tanya pria paruh baya, sambil menyandarkan motor di pinggir jalan setapak. Warto menjelaskan kalau menemai saya dari Jambi. Warto mengenal baik lelaki ini.
Nono, bukan nama sebenarnya, keturunan Jawa kelahiran Sumatera Barat, tinggal di Desa Gunung Labu, Kayu Aro Barat, Kerinci. Lelaki itu masuk kawasan taman nasional untuk menggarap ladang sayur.
Nono tidak sendirian. Ada dua lelaki lain tengah ngaso, lelah dari pagi mengurus tanaman kentang. Kami ditawari untuk mampir ke pondok dan minum kopi.
“Leren disek, ngopi,” kata Mimin, bukan nama sebenarnya.
Cuaca siang itu terasa hangat. Sehari sebelumnya Kayu Aro diguyur hujan seharian. Suhu udara berkisar 18-19 derajat selsius.
Saya duduk di atas karung berisi serbuk kayu, persis di depan pondok menempel dinding terpal. Kami pun mulai ngobrol. Nono membuat api. Sementara Mimin mengambil beberapa saset kopi dari dalam jok motor. Kemudian pergi mengambil air ke sungai.
Nono cerita dulu beli ladang dari orang Siulak, luas 10 andong—satu andong setara 20×20 meter. Dia tak berani nebang hutan, takut ditangkap. Hampir rata orang di Kayu Aro beli ladang dari orang Siulak.
“Kita tak berani nebang [hutan], semua [ladang] beli. Punya duit sedikit, ada orang kampung jual, kita beli.”
Nono bilang, tanah di luar taman nasional mahal. Dia cuma pensiunan karyawan PTPN VI—perusahaan BUMN yang mengelola perkebunan teh Kayu Aro—uang pensiunan hanya Rp100.000 perbulan, tak sanggup kalau beli ladang dekat kampung.
Harga tanah satu andong di Kayu Aro, di luar taman nasional antara Rp150-Rp200 juta. Untuk jadi ladang sayur, minimal perlu lahan 10 andong. Hanya para pemodal yang sanggup membelinya.
Nono punya ladang 23 andong di dalam kawasan yang dibeli dari orang Siulak sekitar 2018. Waktu itu harga Rp30 juta.
Orang kampung itu pindah kemana? Nono menunjuk ke arah gubuk dekat sungai tumpukan kayu papan.
Sebuah pondok papan beratap seng tampak mencolok. Ukuran lebih besar dibanding pondok sekitar. Peladang sebut pondok itu milik Suk. Dia asli Siulak, pernah sebagai tenaga bantuan penjaga hutan di Dinas Kehutanan Kerinci .
Sekitar 2021 pondok itu pernah digerebek tim gabungan dari Balai Penegakan Gukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tiga mesin penyemprot, kasur dibakar petugas. Suk pergi ke bukit dekat Danau Belibis.
Suk disebut kuasai lahan puluhan hektar.
Pada 6 Maret 2023, saya mendatangi gudang Suk di Buntu, Desa Kebun Baru, untuk memastikan soal ladang kentang dekat Danau Belibis. Gudang itu tutup. Seorang warga bilang, sulit kalau mau ketemu Suk, karena dia ke gudang tidak menentu. Saya kembali datang besoknya, tidak juga ketemu.
Saya mencoba menghubungi Pur, anggota polhut, sekarang sudah pensiun. Dia saudara Suk. Saya menanyakan nomor Suk yang bisa dihubungi.
“Ndak ada, ndak ada. Kami jarang ketemu,” katanya.
Kebun pejabat?
Awan putih tampak menutupi ujung bukit yang mengelilingi Desa Danau Tinggi, Kecamatan Gunung Kerinci. Orang-orang menyebut tempat itu “tirai embun”. Butuh waktu satu jam setengah perjalanan menggunakan motor dari Desa Kersik Tuo, melewati jalan sempit dan berkelok di kaki bukit.
Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di jalan berbatu selebar empat meter. Jalan itu dibuka sekitar 2020 menggunakan ekskavator. Diduga banyak orang berduit yang punya ladang dan kebun di atas bukit.
“Kabarnya orang-orang ini iuran sewa eksavator untuk buka jalan,” kata warga yang menemani saya.
Sekitar 100-an meter di ujung tanjakan, kami berhenti. Bunyi gergaji mesin terdengar jelas disusul suara pohon tumbang. Sepanjang jalan kami lewati banyak bekas tebangan pohon mengering. Sebagian mulai digarap jadi ladang sayur, kentang, kebun kayu manis dan kopi. Pondok-pondok terlihat sepi, pintu dikunci dari luar.
“Orang di sini kalau nampak orang baru langsung kabur. Dikira petugas mau nangkap.”
Banyak petani kecil dimanfaatkan pemodal untuk menggarap lahan. Mereka dibiarkan menanam sayur tanpa sewa di sela tanaman utama—biasanya kayu manis. Dengan begitu, pemilik lahan tak perlu mengurus dan menjaga kebun. “Kalau di sini disebut anak ladang. Jadi susah kalau mau ketemu yang punya langsung.”
Saya ditunjukkan sebuah pondok beratap merah diduga milik aparat. “Itu ladang Alti.” Yang dimaksud adalah Alti Irawan, anggota polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) yang baru saja dipromosikan sebagai Kapolsek Gunung Kerinci pada 2 Maret 2023.
Mantan KBO Shabara Polres Kerinci itu juga disebut punya usaha kayu untuk bahan bangunan di wilayah Siulak.
Setelah berjalan beberapa belas menit, kami sampai di pondok yang di kelilingi tanaman kayu manis selengan orang dewasa. Ladang itu tampak terawat. Saya kembali menggunakan aplikasi Gaia GPS. Jika ditarik garis lurus, kebun Alti masuk di dalam kawasan sekitar 500 meter dari batas.
Kami kemudian turun mengikuti jalan mengarah ke perkampungan, dan menemukan sebuah rumah papan bertingkat baru dibangun. Gagang pintu masih terbungkus plastik, seperti baru pasang.
Di belakang rumah ada dua tandon air, masing-masing berkapasitas 1.000 liter. Rumah ini persis di atas Desa Danau Tinggi, di ketinggian lebih 1.000 meter di atas permukaan laut, berkeliling perbukitan.
Alti yang saya hubungi via telepon mengakui punya kebun kayu manis delapan hektar di Desa Danau Tinggi. Dia bilang, kebun itu dulu dibeli dari warga, tetapi tidak tahu jika masuk kaman nasional.
“Iya dulu beli sudah lama itu sekitar 7-10 tahun lalu. Waktu saya beli dibilang tidak dalam kawasan. Karena ada kebun yang di atas saya lebih luas, itu tidak masuk kawasan,” katanya, 19 Maret 2023.
Saya juga menyinggung soal rumah tingkat di atas bukit, Alti buru-buru menutup telepon.
Tak hanya Alti yang punya ladang atau kebun masuk taman nasional, banyak yang lain, diduga dari politikus, dan lain-lain.
Nurhamidi, Kepala Seksi I TNKS Kerinci Utara tidak berani menyebut pejabat daerah dan aparat ikut terlibat perambahan kawasan hutan. “Ada dugaan, tetapi itu sulit dibuktikan.”
Selama ini, dia mengaku kesulitan melakukan penegakan hukum, karena banyak informan yang mengawasi pergerakan petugas. “Kadang kita masih dalam perjalanan, mereka sudah dapat info duluan. Bahkan, di wilayah tertentu yang susah dijangkau sinyal telepon, mereka menggunakan HT (handy talky), jadi sudah terkoordinir.”
Beberapa kelompok peladang yang mayoritas warga lokal pernah melakukan perlawanan. Sekitar 2021, Danuri, anggota Polhut Kerinci Utara yang di-backup 19 anggota masyarakat mitra polhut (MMP) dan kelompok konservasi mandiri (KKM), dicegat ratusan warga saat menangkap empat pelaku pembalakan di Danau Tinggi. Mereka menunggu di ujung jalan, bersenjata parang dan kayu.
Tukino, anggota KKM yang saat itu ikut rombongan patroli, seketika panik. Dia trauma pernah dikalungin parang warga kampung karena dituduh sebagai mata-mata.
“Orang itu ratusan, laki-laki perempuan keluar semua di jalan. Orang di Danau Tinggi itu kompak. Berani melawan,” katanya.
Warga yang ditangkap, akhirnya dilepas. “Jalan cuma satu. Daripada awak (kita) jadi bulan-bulanan, lebih baik cari aman. Kalau waktu itu—pelaku pembalakan—tetap dibawa, pasti bentrok.”
‘Saham’ tauke kentang
Para tauke kentang di desa ikut ambil peran dalam ladang sayur di dalam kawasan. Mereka tak segan menggelontorkan uang ratusan juta buat modal peladang. Orang di Kerinci menyebutnya dengan istilah “nyaham” atau tanam saham.
Hermontunis, asal petani Siulak, mengaku dapat pinjaman modal Rp48 juta dari Menteri, tauke kentang di Desa Gunung Labu, untuk menggarap ladang di Bukit Brimbun. “Biasa saya pinjam Rp20-Rp30 juta buat modal, nanti bayar pas panen,” katanya.
Supri, petani kentang juga kerap datang ke tempat tauke pinjam uang. Dia bilang, itu sudah lumrah, karena untuk menggarap ladang sayur butuh modal cukup besar. Untuk tanam kentang satu andong saja, minimal perlu modal Rp2-Rp3 juta.
Iwan Budiono, tauke kentang di Desa Giri Mulyo disebut banyak tanam saham ke petani. “Kalau Pak Iwan itu, hampir 70% orang di sini pinjam modalnya sama dia,” ujar Supri.
Saya menemui Iwan di rumahnya di seberang Mesjid Baitul Taufiq. Dia punya usaha toko kelontong paling besar di Giri Mulyo. “Kalau nyaham tidak banyak, di sini (Giri Mulyo) paling 150-an orang, di Desa Batu Ampar itu ada satu orang, di Tangkil lima orang, Kersik Tuo tiga orang,” katanya sambil menakar gula di timbangan.
Iwan berani keluarkan duit Rp1-15 juta untuk modali satu petani. Dalam sebulan, tidak kurang dari 100 petani menjual kentang padanya. Saat panen melimpah, gudang kentang Iwan berkapasitas 8.000 karung bisa penuh.
Pria keturunan Jawa itu bukan pemain baru. Dia sudah 20 tahun menggeluti usaha jual beli kentang. Hampir setiap hari mengirim kentang ke Jakarta, Lampung dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Sekali kirim rata-rata 7,5 ton.
“Kalau dulu orang kenalnya kentang Sumatera Barat, padahal kentang dari sini (Kerinci). Karena yang jualan itu banyak orang Padang, maka yang terkenal kentang Sumbar. Sekarang sudah banyak yang kirim dari sini langsung ke Jakarta.”
Di Giri Mulyo, saya juga ketemu Megri, anak Suyono, tauke kentang lainnya. Dia juga memasok kentang untuk pasar induk di Tangerang, Bukit Tinggi, Pring Sewu dan Palembang. Paling banyak kentang dikirim tujuan Tangerang. Dalam seminggu bisa tiga kali, sekitar 30 ton kentang ukuran jumbo.
“Kalau daerah lain paling 1-2 kali seminggu baru kirim. Rata-rata 8-10 ton sekali kirim.”
Megri bilang bapaknya ikut tanam ‘saham’. Ada 80-an petani langganan pinjam modal, kisaran Rp2-20 juta. Petani yang terbelit utang menjual kentang padanya, dan harga dibeli lebih murah Rp200 per kilogram.
Jalifi, lebih dikenal dengan panggilan Pak Yoga, tauke kentang di Desa Kebun Baru. Dia pemilik SPBU di Desa Bengkolan Dua, Kecamatan Gunung .
Jalifi, terhitung pemain besar. Setiap hari dia memasok kentang tujuan Jakarta. “Kalau barang lagi banyak sehari bisa tiga mobil—rata-rata muatan 9 ton,” kata Agus, keponakan Jalifi yang dipercaya menjaga gudang.
Kentang yang dikirim ke Jakarta hanya ukuran jumbo—satu kilogran berisi 2-3 butir.
Kentang ukuran medium untuk campuran rendang dikirim ke Palembang. Jalifi juga memasok kentang ke Lampung.
Pengusaha asal Sungai Pegeh itu punya puluhan hektar ladang kentang yang sebagian digarap petani kecil. Hasil panen dibagi dua. “Tampang [bibit kentang] dan pupuk dari kita. Orang yang garap modal obat, nanti jual ke sini.”
Tidak hanya jual beli kentang, Direktur PT. Pangeran Muda Kerinci itu juga menyebar ‘saham’ kepada ratusan petani di Desa Kebun Baru, Sungai Lintang, Bentuk dan Buntu. Modal yang diberikan bisa sampai ratusan juta tanpa perlu jaminan.
“Kalau nyaham sampai ratusan juta itu untuk petani mandiri, yang lahannya sudah hektaran,” jelas Agus.
Ada juga Haji Gono, dikenal sebagai tuan tanah di Buntu. Dia punya banyak gudang kentang. Waktu saya temui, pria yang bernama asli Sugiono itu sedang sibuk malayani pembeli kentang dari Bukit Tinggi dan Batu Sangkar, Sumatera Barat.
Setiap hari pedagang dari Sumatera Barat datang membeli kentang. “Sehari paling satu oto (mobil), 7,5 ton,” katanya.
Gono ikut tanam ‘nyaham’ kepada petani di Buntu. “Sedikit, nggak sampai ratusan, paling cuma 30-an orang,” kata pria keturunan Ponorogo itu.
Biasa petani pinjam modal untuk beli pupuk, rata-rata Rp 4-5 juta. Meski nyaham, dia tidak memotong harga kentang. “Kalau dipotong lagi kasihan, orang itu juga butuh hidup.”
Bangun kemitraan
Pada 2004, Komite Warisan Dunia menetapkan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) bersama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai situs warisan dunia (world heritage).
TNKS merupakan kawasan hutan hujan tropis penting dunia yang terletak di rangkaian pegunungan bukit barisan selatan bagian tengah. Terhampar di empat provinsi, mulai dari Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Luasnya mencapai 1,38 juta hektar. Ia menjadi taman nasional terluas kedua di Indonesia setelah TN Lorentz di Papua.
Hutan TNKS menjadi habitat bagi sejumlah populasi satwa langka dan dilindungi seperti harimau Sumatera, gajah Sumatera, badak Sumatera, sampai kijang Sumatera—baru diketahui 2007. Juga lebih 372 jenis burung, 16 endemik.
Di TNKS terdapat sekitar 4.000 jenis tumbuhan, 60% hidup di hutan dataran rendah. Di sini juga habitat alami bagi 300 jenis anggrek. Flora eksotis TNKS yang paling menarik adalah bunga terbesar di dunia, padma raksasa (Rafflesia arnorldii) dan bunga tertinggi di dunia, bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum).
Pada 22 Juni 2011, World Heritage Committee Unesco memasukkan tropical rainforest heritage of Sumatera ini (TNKS, TNBBS dan TNGL) sebagai situs warisan dunia dengan status indangered (terancam) karena masif perambahan, pembalakan liar dan ekspansi perkebunan monokultur.
Hampir separuh hutan di Gunung Kerinci tersingkap. Kebun sayur terus menangkak naik hingga ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut. Data Balai Besar TNKS menyebut, luas area terbuka mencapai 127.000 hektar. Data Tropenbos International Indonesia bersama Unesco (2015) menunjukkan angka lebih besar, sekitar 130.322 hektar, hampir dua kali luas Singapura.
Sukmareni, Koordinator Devisi Komunikasi KKI Warsi—sebuah lembaga non profit yang melakukan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan—mengatakan, hutan di TNKS harus dijaga. Mengingat geografis berupa pegunungan dan perbukitan. Hal itu, katanya, untuk menjaga wilayah sekitar taman nasional tetap aman dari bencana ekologis.
“Kayu Aro itu meski dataran tinggi, tapi pernah diterjang banjir bandang. Itu terjadi juga di tempat lain,” katanya.
Sistem pertanian monokultur di Kerinci bisa cepat merusak tanah. “Kalau gundul tidak ada hutan, akhirnya terjadi runoff yang akan sangat cepat mengikis hara. Tanah jadi nggak subur. Yang awalnya kita ingin sejahtera justru malah sebaliknya.”
Pemerintah, katanya, perlu megedukasi masyarakat untuk memahami kondisi wilayah hingga tak hanya fokus peningkatan ekonomi.
Untuk mengatasi masalah keterlanjuran pembukaan lahan di dalam kawasan, kata Reni, pemerintah membuka peluang kemitraan konservasi untuk pemulihan ekosistem melalui UU Cipta Kerja.
Haidir, Kepala Balai Besar TNKS mengatakan, sudah membentuk 193 kelompok tani hutan (KTH) selama periode 2018-2020, dengan luas 5.000 hektar. Baru 38 KTH sampai tahap perjanjian kerja sama (PKS). Sekitar 28 KTH baru diajukan ke tim Satlakwasdal. Sekitar 127 KTH masih menunggu verifikasi.
Haidir menghitung, perlu 4.000 KTH untuk memulihan area terbuka di TNKS.
Petani yang masuk anggota KTH harus sepakat tidak memperluas ladang. Mereka hanya boleh membuka ladang maksimal lima hektar. Haidir bilang, kelompok KTH akan jadi pagar sosial untuk mengamankan 1,2 juta hektar hutan tersisa. Mereka legal mengelola lahan di dalam kawasan.
“Semua yang sudah menjadi anggota KTH itu legal mengelola garapan di dalam kawasan. Dia punya hak mengelola berdasarkan perjanjian dengan taman nasional.”
Kami ingin hidup
Pada 2009, Hermontunis ditangkap saat sedang sarapan di ladang. Dia digelandang ke Sungai Penuh karena merambah kawasan hutan di sekitar Danau Belibis. Seingatnya, ada 14 orang ditangkap.
“Ditanya kau kasus apa? Nyenso, kau kasus apa? Buka ladang. Yang nyenso dihukum lebih lama, sampai dua tahun,” katanya.
Hermon kena tahan enam bulan. Dia bebas setelah dapat jaminan dari Murasman, saat itu Bupati Kerinci. Hermon sepupu Murasman dari garis bapak. “Kata Murasman, yang penting kau nggak maling, nggak nyenso.”
Setelah bebas dia merantau ke Solok Selatan, Sumatera Barat. Pada 2020, Hermon kembali dan menggarap lahan yang dibuka bapaknya 2008 di Bukit Brimbun—masih dalam kawasan taman nasional.
“Saya masuk, kok di sini sudah ramai, jadi nggak takut lagi. Kalau ditangkap, semua ditangkap.”
Pria asal Siulak itu mengaku trauma kalau melihat petugas. “Sekarang kalau lihat petugas, entah mau data atau mau apa, saya lari, takut.”
Ada lebih 400 peladang di tiga blok dekat Danau Belibis belum masuk KTH: blok Sukeimi, Teguh dan Hermontunis. Mereka warga Desa Siulak, Bendung Air, Sungai Tanduk, Batu Hampar, Gunung Labu hingga Pelompek.
“Karena orangnya tidak satu desa itu susah masuk KTH. Sebetulnya ya mau masuk, misal disuruh tanam pohon apa, kita mau. Asal tidak ditangkap,” kata Hermon.
Lahan yang dibuka Hermon di Danau Belibis ternyata sudah dijual pada Nono, petani yang saya temui di pondok Mimin.
Nono bilang, niatnya beli ladang buat nyambung hidup, karena tidak tahu lagi mau kerja apa selain bertani.
“Kalau tak bertani, mau kerja apa?” kata Nono, dalam bahasa Jawa.
“Kalau sudah tua seperti kita, mau kerja di perusahaan ya tidak diterima,” sambung Mimin.
Ketika ditanya ladang yang digarap masuk kawasan hutan negara, bagaimana kalau ditangkap?
Nono langsung lesu.
“Hasil ladang hanya sedikit buat nyambung hidup, masak mau ditangkap. Orang kecil juga kepingin hidup,” katanya.
*Liputan ini merupakan Fellowship Akademi Jurnalis dan Lingkungan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia.
Hebat toke-toke, prjabat
Tindakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengamankan wilayah tnks