Ikan Pun Tak Bisa Hidup di Sungai Koto Periang
Kerinci adalah sekepal tanah surga yang tercampakkan ke bumi. Begitulah khiasan penyair Ghazali Burhan Rioja yang menggambarkan keindahan alam di daerah yang berjuluk Sakti Alam Kerinci ini. Ungkapan itu agaknya tidaklah berlebihan. Sangat sulit mencari perumpamaan keindahan yang dimiliki kabupaten paling barat Provinsi Jambi.
Desa Koto Periang terdiri dari 3 dusun dan 4 RT. Topografi desa ini adalah daratan tinggi dengan tekstur tanah yang lempung berpasir dan sangat subur karena berada dibawah kaki Gunung Kerinci. Jarak desa ini dari Ibukota kecamatan sekitar 2 km dan Ibukota Kabupaten Kerinci (Bukit Tengah Siulak) sekitar 20 km dan ke Ibukota Provinsi Jambi sekitar 450 km.
Jumlah penduduk desa ini 879 jiwa dan 242 Kepala Keluarga serta 366 jiwa merupakan laki-laki dan 385 merupakan perempuan. Berdasarkan SK Bupati Kerinci No.125 Tahun 2002 tanggal 24 Mei 2002, Koto Periang menjadi sebuah desa setelah dimekarkan dari Desa Sungai Tanduk Kecamatan Kayu Aro.
Pagi itu, gerimis sedikit menyelimuti desa Koto Periang. Para penduduk terlihat asyik bercengkrama diatas bangku bambu didepan rumah. Jika hujan, mereka memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Kesempatan mendampingi kunjungan Tim Satker PNPM Mandiri Perdesaan dari Jakarta merupakan pengalaman pertama saya untuk masuk lebih dalam di Desa Koto Periang, meski sebelumnya juga seringkali sekedar melewati desa itu.
Dingin dan sejuk adalah kata yang tepat untuk menggambarkan desa Koto Periang. Selain itu, keramahan penduduk juga memberikan kesan bahwa desa ini begitu menghormati setiap tamu yang mendatanginya.
Banyak sekali yang bisa dibincangkan tentang ke Koto Periang. Namun salah satu yang paling unik adalah keberadaan beberapa mata air yang mengalir deras menembus dataran desa. Setidaknya terdapat 3 sumber mata air yang berdiameter sekitar 1 – 2 meter, serta terdapat puluhan mata air yang berukuran kecil.
Menurut tokoh masyarakat setempat, Syafril, sumber mata air tidak pernah berkurang dan bertambah meski diguyur hujan lebat ataupun kemarau panjang. “Seingat saya, dari dulu sampai sekarang airnya tetap seperti itu,” kata Syafril.
Mata air tersebut mengalir membentuk sungai selebar 10 meter yang membelah desa Koto Periang. Diceritakan Syafril lagi, sepanjang hampir 2 kilo meter, tidak satupun terdapat ikan yang hidup di sungai tersebut.
Meski tidak mengetahui analisa yang pasti, namun warga setempat beralasan bahwa tidak bisanya ikan hidup di sungai tersebut dikarenakan dinginnya air sungai serta kejernihannya sehingga tidak ada makanan yang bisa didapat oleh ikan untuk bertahan hidup.
Pendapat warga Koto Periang itu bisa jadi ada benarnya. Sebab meski tidak terdapat ikan di aliran sungai, ternyata mayoritas masyarakat desa memiliki kolam kecil di depan rumah yang berisi ikan-ikan berbagai jenis. Padahal air yang digunakan untuk mengaliri kolam berasal dari aliran mata air tersebut.
“Mungkin saja ada pengaruh jika air sudah mengalir melalui pipa maka akan sedikit lebih hangat. Selain itu ikan juga diberi pakan tambahan. Kalau di sungai ikan akan sulit mendapatkan makanan,” kata Efrial, salah seorang warga yang membuat kolam ikan untuk konsumsi rumah tangga.
Meski tidak bisa mengail ikan di aliran sungai, masyarakat Koto Periang merasa bersyukur dengan adanya sumber mata air yang besar itu. Sebab melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan telah dibangun jaringan air bersih perpipaan yang mengalirkan air bersih ke rumah.
Dengan demikian, instalasi air bersih yang dibangun tahun 2007 itu telah memudahkan masyarakat untuk mendapatkan konsumsi air bersih. Bahkan 5 desa sekitar juga telah ikut menikmati air bersih dari mata air Koto Periang.
Hadirnya instalasi air bersih juga memberikan dampak yang besar terhadap pembangunan di desa tersebut. Dari iuran Rp. 10.000 per rumah pemanfaat air bersih telah dimanfaatkan untuk membantu pembangunan gedung pemuda serta membantu honor tenaga pengajar di PAUD.
Selain iuran warga di Koto Periang, desa sekitar yang juga memanfaatkan sumber mata air juga dikenakan iuran pemeliharaan sebesar Rp. 50.000 per inchi pipa induk. Jika satu desa menggunakan pipa dengan ukuran 3 inchi, maka desa tersebut diwajibkan membayar Rp. 150.000 per bulan kepada desa Koto Periang.
“Jumlah iuran pengguna air bersih di Koto Periang sebesar Rp. 10.000 per bulan serta biaya penyambungan pipa oleh desa lain sudah ditetapkan melalui peraturan desa,” kata Syafril, tokoh masyarakat setempat. (Mensediar Rusli, Information, Education, and Communication Specialits PNPM Mandiri Perdesaan Provinsi Jambi)