JambiKerinciPendidikanSungai Penuh

MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI PERGURUAN TINGGI ISLAM

MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DI PERGURUAN TINGGI ISLAM: PENDEKATAN MIKROREKULTURISASI

Oleh Dr. Dairabi Kamil (11-05-2013)

Pendahuluan
Upaya pemberantasan korupsi bukanlah tanggung jawab KPK dan institusi-institusi terkait saja. Segenap komponen bangsa perlu terlibat dan bersinerji dalam upaya tersebut. Untuk itu inisiatif memasukkan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum pendidikan nasional mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke purguruan tinggi perlu segera direspon secara positif agar ide tersebut bisa direalisasikan pada saat ini juga. Hal karena intensitas dan kuantitas  korupsi di tanah air telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan.
Pada dasarnya penolakan terhadap korupsi adalah sebuah nilai yang universal, ada dalam semua budaya, agama dan kepercayaan. Ia adalah bagian dari fitrah manusia yang menolak kecurangan dan segala bentuk kejahatan pada umumnya.  Dengan demikian tujuan akhir dari pendidikan korupsi adalah menguatkan dan menjaga fitrah tersebut,  membentengi dan membentuk peserta didik yang berkepribadian antikorupsi. Namun, ketika pendidikan antikorupsi menjadi bagian dari kurikulum pendidikan formal, tujuan, konten, metode, dan evaluasinya perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkatan dan karakter  satuan pendidikan di mana ia  menjadi bagian dari kurikulumnya.Untuk itu, langkah Kementerian Agama untuk merumuskan model pendidikan anti korupsi untuk perguruan tinggi Islam adalah suatu hal yang tepat.
Tulisan ini mencoba menawarkan model pendidikan antikorupsi untuk perguruan tinggi Islam di Indonesia yang disebut Mikrorekulturalisasi. Pandangan yang mendasari model ini adalah kenyataan bahwa korupsi dalam berbagai wujudnya telah membudaya dalam hampir semua strata masyarakat dan bidang profesi di Indonesia. Untuk itu diperlukan semacam counter-attack dalam bentuk dekulturalisasi  korupsi. Pada lingkup mikro, perguruan tinggi dengan semangat penalaran ilmu, menjunjung tinggi kebenaran,dan kebebasan akademiknya bisa menjadi model gerakan dekulturalisasi tersebut  dengan   melibatkan dan memberdayakan semua  komponen yang ada secara holistik, termasuk kurikulum dan kebijakan. Intinya, model ini berorientasi keteladanan melalui pengamalan sikap antikorupsi oleh semua komponen perguruan tinggi. Selanjutnya, diharapkan mikrorekulturalisasi  ini menjadi roh penggerak makrorekulturalisasi antikorupsi di masyarakat luas.
Model dimaksud sengaja dibuat dalam bentuk pendekatan (approach) berupa prinsip-prinsip utama, bukan prosedur sebagaimana model-model pembelajaran pada umumnya.Hal ini bertujuan agar tersedia ruang yang cukup bagi dosen dan mahasiswa untuk berinovasi dalam mengembangkan model tersebut sesuai dengan konteks perguruan tinggi masing-masing tanpa menghilangkan esensi dan tujuan model tersebut. Ini diperlukan agar model (pendekatan) tersebut tetap compatible dengan konteks yang berbeda-beda.
Pendekatan ini lahir dari alur pikir bahwa untuk memberantas korupsi perlu mengetahui apa itu korupsi, penyebab, dan strategi pemberantasannya. Selanjutnya menempatkan ketiga hal tersebut  dalam perspektif Islam dan pendidikan di perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Islam,dan kemudian merumuskan peran dan porsi yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi Islam dalam pemberantasan korupsi serta bagaimana hal tersebut sebaiknya dilakukan.
Untuk memudahkan pemahaman, tulisan ini akan memaparkan model yang ditawarkan secara ringkas dan sederhana dengan tetap mengedepankan aspek-aspek ilmiah yang mendasari model tersebut.
Kerangka Konseptual
Dalam mengembangkan pendekatan Mikrokulturalisasi  ini penulis mempertimbangkan beberapa konsep, baik yang teoritis maupun yang bersifat kontekstual-terapan. Pertama, teori-teori tentang korupsi, penyebab, dan strategi pemberantasannya. Kedua, Konsep tentang pendidikan di perguruan tinggi dan perguruan tinggi Islam. Ketiga, pandangan Islam terhadap korupsi dan pemberantasannya. Tiga hal ini diuraikan berikut ini
Defenisi Korupsi
Salah satu defenisi korupsi yang paling banyak digunakan dalam literatur adalah “the misuse of entrusted power for private benefit”(penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi) yang dirumuskan oleh LSM Transparansi Internasional. Namun, walaupun ada kecenderung korupsi dimaknai sama dalam konteks yang berbeda, McCusker (2006) menilai tidak mudah untuk merumuskan defenisi korupsi yang generik. Hal ini dikarenakan, konsep korupsi berhubungan erat dengan budaya bahkan kepercayaan.McCusker mencontohkan korupsi akan lebih mudah diidentifikasi di budaya atau agama yang memberikan batasan yang jelas antara milik pribadi dan milik bersama dibandingkan pada budaya atau agama yang tidak memberikan batasan tersebut secara jelas. Pandangan senada juga diutarakan oleh Gardiner (2002) yang melihat seringkali terdapat gap antara defenisi legal  dan pengertian masyarakat tentang korupsi. Hal ini menurutnya berdampak negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Penyebab Korupsi
Penkauskienėet al (2006) berpendapat  bahwa cikal bakal korupsi adalah adalah sifat egois yang ada pada diri manusia. Semua orang memiliki kecenderungan untuk bersifat egosentris, mementingkan diri sendiri.  Dengan kondisi seperti ini, tendensi untuk korupsi akan semakin besar seiring dengan meningkatnya kebutuhan konsumtif serta semakin pentingnya kesejahteraan pribadi dibandingkan kesejahteraan umum.
Utari (2011) mengidentifikasi dua faktor penyebab korupsi, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi hal-hal yang terkait dengan “…lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup” (p.39). Sementara faktor eksternal  berkaitan dengan pendapatan yang rendah, instabilitas politik, ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum, serta masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.
Sementara itu, penelitian kepustakaan  yang dilakukan McCusker (2006) tentang persepsi masyarakat tentang penyebab menemukan tiga hal yang dianggap sebagai sebagai penyebab utama korupsi, yaitu:
1.      Rendahnya kepatuhan terhadap norma dan nilai di kalangan politisi dan pegawai pemerintah.
2.      Lemahnya fungsi kontrol, pengawasan, dan audit.
3.      Hubungan antara bisnis, politik, dan negara.
Secara teoritis Bologne (2006) sebagaimana dikutip oleh Utari (2011),  mengidentifikasi empat hal penyebab korupsi, yaitu  keserakahan (greed), kesempatan (oppurtunity), kebutuhan (needs)  dan pengungkapan (expose) yang disingkat menjadi GONE.  Yang dimaksud dengan pengungkapan di sini adalah ringannya  hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sehingga tidak memberi efek jera kepada pelaku maupun orang lain.

Baca juga:  Politisi Kecam Eks Pejabat Pendukung Paslon HTK yang Lecehkan Profesi Petani

Dari paparan tentang penyebab korupsi di atas, terlihat bahwa pada intinya penyebab utama korupsi ada dalam diri manusia itu sendiri yaitu sifat  egois, tidak pernah puas, konsumtif dan materialistik. Dengan demikian upaya pemberantasan korupsi, di samping pemberantasan dan pencegahan,  mestilah memasukan upaya preventif melalui pendidikan untuk membantu peserta didik  membentengi diri dari prilaku korupsi.
Strategi Pemberantasan Korupsi
McCusker (2006) membagi 3 pendekatan utama dalam pemberantasan korups, yaitu 1) Pendekatan Intervensi, di mana badan atau institusi antikorupsi menunggu tindak korupsi terjadi baru kemudian menangkap dan menghukum pelakunya; 2) Pendekatan Pendekatan Manajerial, yang mengandalkan penerapan peraturan, sistem, prosedur, dan protokol yang akan mencegah orang untuk melakukan tindak korupsi; 3) Pendekatan Integritas Organisasi yang menggabungkan sistem operational organisasi, strategi antikorupsi, dan kode etik sehingga lahir norma-norma yang akan membentuk prilaku.
Hampir semua  literatur utama tentang strategi pemberantasan korupsi (misalnya, McCusker, 2006;Klitgaard, 2005;Andvig, 2000;Gardiner, 2002; Huberts,1998) dan juga strategi antikorupsi yang diterapkan di beberapa negara yang sukses menekan angka korupsi, seperti Hong Kong (Cina), Singapura, dan Finlandia menunjukan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secacra holistik, inklusif, multidisiplin, dan multisektoral. Hal ini dikarenakan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab semua komponen negara dan apa bila ada satu bagian saja yang lemah dalam satu sistem yang berkaitan langsun atau tidak langsung dengan upaya pemberantasan korupsi, maka bagian tadi dapat menjadi sandungan bagi upaya tersebut. Hong Kong, misalnya, melakukan upaya pemberantasan korupsi secara holistik melalui penyelidikan, pencegahan dan pendidikan. Secara lebih spesifik,  Huberts (1998), menawarkan pendekatan pemberantasan korupsi inklusif-holistik  melalui sinerji 6 ranah, yaitu ekonomi, pendidikan, kebudayaan, organisasi atau birokrasi, politik dan hukum.
Dengan demikian, paparan di bagian ini semakin menegaskan peran penting pendidikan sebagai salah satu bagian dari wacana pemberantasan korupsi secara holistik. Tugas penting selanjutnya adalah merumuskan model-model  pendidikan anti korupsi yang sesuai untuk masing-masing jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga ke perguruan tinggi.
Pendidikan Tinggi di Indonesia
Hal-hal mendasar tentang fungsi, tujuan, pengembangan ilmu dan lainny pada perguruan tinggi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 12 Tahun 2012. Di sini akan dikutip bagian-bagian dari undang-undang tersebut yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi.
Pertama, Pasal 3 yang memuat asas pendidikan tinggi menyebutkan bahwa diantara asas-asas pendidikan tinggi adalah kejujuran, keadilan,kebajikan, dan tanggung jawab.  . Kedua, Pasal 4 menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berfungsi, di antaranya, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma, dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.

Baca juga:  Puluhan Ribu Warga Memadati Kampanye Akbar AZ-FER di Lapangan Merdeka

Ketiga, Pasal 5 tentang tujuan pendidikan tinggi menjelaskan bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan, di antaranya, berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Keempat, Pada Pasal 6 dijelaskan bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip:
“ pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika, demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa, keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran, pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang”.

Kelima, Pasal 8 menjelaskan tentang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Hal ini yang membedakan pendidikan tinggi dengan jenjang pendidikan di bawahnya. Keenam, Pasal 13,  tentang mahasiswa menyebutkan bahwa:
 “Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual,ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional. Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.”

Secara umum, asas,prinsip,tujuan dan karakter pendidikan tinggi serta   nilai-nilai yang dianutnya selaras dengan semangat antikorupsi. Jika ini dikembangkan secara sistematis dan sistemik, dapat menjadi tempat lahirnya dan tumbuhnya ide-ide dan model-model pendidikan antikorupsi yang inovatif dan dinamis. Dengan kebebasan akademisnya,perguruan tinggi memiliki ruang yang luas untuk hal tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa selama ini mahasiswa telah memainkan peran yang penting dan selalu berada di garis depan dalam gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia, termasuk gerakan antikorupsi.
Korupsi Dalam Perspektif Islam
Islam memaknai korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan sosial, ekonomi,dan ekologi (Iqbal and Lewis, 2002). Dengan demikian, korupsi dalam perspektif Al-Qur’an meliputi semua perbuatan manusia yang mengganggu kehidupan pribadi-pribadi lainnya,merusak keharmonisan sosial, serta membahayakan lingungan sekitarnya (Iqbal and Lewis, 2002). Hal dijelaskan dalam surat Ar-Rum, Ayat 41yang artinya ”Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautdisebabkan perbuatan manusia…”. Semua ini mengisyaratkan bahwa Islam memandang korupsi sebagai masalah moral dan etika yang agar terhindar darinya diperlukan niat dan ketetapan hati yang kuat serta kemampuan untuk membentengi diri dari hal-hal yang koruptif.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Antikorupsi Melalui Pendekatan Mikrorekulturalisasi
Sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi pelajar telah diajari hal-hal, nilai-nilai,dan norma-norma yang baik. Namun, seringkali mereka menemui hal-hal baik yang dipelajari di bangku pendidikan tersebut hanya bersifat pengetahuan kognitif saja  tapi tidak dilaksanakan oleh masyarakat, bahkan institusi tempat dia belajar sendiri. Jurang ini bisa menimbulkan ambiguti dan disorientasi  dalam diri pelajar yang membuat nilai-nilai dan norma-normayang telah dipelajari kehilangan makna. Ringkasnya, akan menjadi sebuah paradoks apabila pelajar diajarkan untuk hidup bersih tapi sekolah sendiri tidak mengamalkan dan menjaga kebersihan. Begitu pula, perguruan tinggi yang mengajarkan pendidikan antikorupsi harus membuktikan bahwa ia antikorupsi di segala lini. Hanya dengan demikian pendidikan antikorupsi bisa dilihat dalam wujud aslinya, bukan sekedar wacana akademis belaka.  Dari pemikiran inilah diperlukan pendekatan mikrorekulturalisasi dalam pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi Islam.
Pendekatan mikrorekulturalisasi melihat perguruan tinggi, seperti juga institusi pendidikan lainnya sebagai sebuah komunitas yang memiliki identitas, sistem, dan budayanya sendiri namun juga tidak terlepas dari identitas, sistem, dan budaya masyarakat yang lebih luas di sekitarnya.Oleh karena itu, sebagai sebuah institusi perguruan tinggi memiliki potensi untuk secara efektif dan efisien membudayakan sesuatu hal, termasuk pendidikan antikorupsi. Kulturisasi atau pembudayaan mengacu kepada proses yang holistik yang melibatkan semua komponen perguruan tinggi.
Dengan didasari hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut adalah prinsi-prinsip pendekatan pendidikan antikorupsi mikrorekulturalisasi di perguruan tinggi Islam:
1.      Pendidikan Antikorupsi mestilah diniatkan sebagai realisasi dari salah satu kewajiban manusia sebagai khalifah di dunia ini, yaitu amar ma’ruf,nahi munkar.
2.      Penyelenggaran pendidikan tinggi yang bersih dan akuntabel harus menjadi bagian dari visi dan misi pimpinan perguruan tinggi.
3.      Semangat antikorupsi harus tercermin di dalam kebijakan dan aturan serta sikap dan prilaku seluruh sivitas akademika.
4.      Pendidikan antikorupsi bisa saja menjadi mata kuliah tersendiri atau diintegrasikan ke dalam mata kuliah-mata kuliah, namun yang lebih penting adalah membudayakan nilai-nilai,norma-norma, serta semangat antikorupsi tersebut dalam kehidupan di perguruan tinggi.
5.      Dalam pendidikan antikorupsi mahasiswa diposisikan sebagai subjek yang aktif, agent of change yang diharapkan kontribusinya dalam gerakan antikorupsi, bukan sebagai objek.
6.      Pendidikan antikorupsi mikrorekulturalisasi adalah proses yang terus-menerus dan tampil dalam bentuk yang beragam.
7.      Pendidikan antikorupsi mikrorekulturalisasiharus juga berorientasi keluar agar menjadi inspirasi dan model untuk makrorekulturalisasi di masyarakat luas.

Baca juga:  Dugaan ASN Terlibat Kampanye AL-AZHAR di Sungai Penuh

Refensi
Andvig J. Ch., Fjeldstad O. H.(200), Research on Corruption. A Policy Oriented Survey. Ch. Michelsen Institute & Norwegian Institute of International Affairs.
Gardiner J. A. (2002), “DefiningCorruption”, in A. Heidenheimer, M. Johnston (ed.), Political Corruption. Concepts & Contexts. Thirdedition.NewBrunswickandLondon:Transaction Publishers,
Huberts LWJC 1998. What can be done against public corruption and fraud: expert views on strategies to protect public integrity. Crime, law & social change 29: 209–224
Iqbal, Z. and Lewis, M.K. (2002), ‘Governance and Corruption: Can Islamic Societies and the
West Learn from Each Other?’ American Journal of Islamic Social Sciences, 19(2), 1-33
Klitgaard, Robert (2005), Membasmi Korupsi (Penerjemah Hermojo), Jakarta: Yayasan Obor IndonesiaMcCusker (2006)
Penkauskienė (2006) Anti-Corruption Educationat School:Methodical material for generaland higher education schools.Ministry of Education and Science of the Republic of Lithuania

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 12 Tahun 2012
Utari, Indah Sri (2011), Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button