Konflik SAD dan SAL, Abetnego Tarigan Sebut Masalah SAD Itu Multidimensi
Kerincitime.co.id, Berita Sarolangun – Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan menilai berbagai persoalan warga Suku Anak Dalam (SAD) yang ada di Provinsi Jambi saat ini, termasuk di Kabupaten Sarolangun adalah persoalan ruang hidup dan akses kebutuhan dasar mereka.
Masalah ini kembali menyeruak pasca mereka mengadu ke Komnas HAM terkait tuntutan meminta hutan adat. Warga SAD menilai tanah ulayatnya telah diserobot PT Sari Aditya Loka (SAL) di di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. PT SAL adalah perkebunan sawit anak perusahaan anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk.
“Terkait penyelesaian masalah ini, saya agak sulit menyebutnya hak atas tanah. Karena di dalam konteks Suku Anak Dalam, dalam beberapa referensi yang kami dapat, Suku Anak Dalam mengenal ruang hidup sebenarnya bukan persis seperti yang kita bayangkan seperti ada SHM sertifikat hak milik atas tanah, tetapi ruang hidup yang kita lihat,” kata Abetnego Tarigan kepada detail.id pada Kamis, 10 Juni 2021 usai bertemu dengan warga SAD.
Namun yang menjadi kendala, kata Abetnego, yang diperjuangkan warga SAD adalah ruang hidup bukan surat kepemilikan tanah. Lagi pula, bukan berarti pula SAD akan selamanya di sana.
Menurut Abetnego, problem SAD itu multidimensi. Mulai dari akses mereka terhadap kebutuhan dasar.
“Mulai dari kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Termasuk juga yang paling kompleks itu berkaitan dengan ruang hidup tadi. Kita tahu bahwa saudara-saudara kita Suku Anak Dalam itu memang punya keunikan tersendiri dibanding kita,” katanya.
Ia menyebut, misalnya SAD masih sering hidup berpindah-pindah (nomaden). “Kami dalam kesempatan ini ingin melihat apa rencana tindakan dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan,” ujarnya.
Ia menjelaskan pada tahun 2018 telah mendorong pendataan SAD se-Provinsi Jambi meskipun para kepala daerah mengaku kesulitan karena SAD hidup nomaden.
Abetnego berkata esensinya jangan menyerah pada kendala tersebut. Tergantung kreativitas mendata SAD secara administrasi pemerintahan agar setara dengan yang lain.
“Kita tahu, untuk akses-akses kebutuhan dasar yang dalam bentuk-bentuk program pemerintah semuanya berbasis Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena kalau pemberian tanpa basis KTP itu bisa terindikasi korupsi,” ucap Abetnego Tarigan.
“Syukur alhamdulillah sekarang sudah bergerak, angka-angkanya terus naik. Memang mereka akan sulit pegang KTP, tetapi tidak ada sulitnya juga dititipi di kantor kepala desa,” katanya.
Selanjutnya katanya, dikirimkan ke semua puskesmas, bahwa misalnya ada warga SAD diarahkan ke mana pun di seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Sarolangun, bisa dipakai berobat.
“Saya pasti sudah punya BPJS, tanpa saya harus pegang-pegang KTP atau kartu BPJS. Karena sudah terdata secara administrasi pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, Ini kan soal teknis yang bisa dikembangkan oleh pemerintah daerah. Nah, beberapa pemerintah daerah ini sudah mulai bergerak. Tapi, kami melihat memang belum lengkap semuanya. Jadi, ini bagian dari proses semuanya.
“Makanya tadi Pak Bupati, menyinggung itu buat saya. Saya catat untuk melihat sejauh mana perkembangannya,” ujarnya.
Ditanya terkait akankah ada rekomendasi dari KSP terkait permasalahan warga suku anak dalam terhadap perusahaan tersebut, ia mengatakan bukan lagi bentuknya rekomendasi tapi sudah dilakukan.
“Sudah kita lakukan, makanya ada pergerakan sekarang. Saya mau melihat perkembangannya sejauh apa, bukan rekomendasi lagi, ini sudah tindaklanjutnya. Saya juga akan mengecek akses SAD terhadap perlindungan sosial,” katanya.
Karena dulu juga dalam proses pasti akan ada, tadi Pak Bupati kata Abetnego Tarigan menyampaikan ada sekitar 50 persen sudah bisa asimilasi. Artinya bisa menyesuaikan dengan perkembangan praktik kehidupan yang ada sekarang, misalnya sudah bisa tinggal menetap.
“Kemarin Pak Bupati juga sudah menyampaikan bahwa anak-anak sudah mulai mau tinggal di rumah belajar dan lain sebagainya,” kata Abetnego Tarigan. (Irw)
Sumber: Detail.id