KerinciPariwisata/Budaya

Muas : Budaya Harus Dirawat Dan Dilestarikan

Berita Kerinci, Kerincitime.co.id -Masyarakat alam Kerinci dikenal sebagai masyarakat yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi, di bumi alam Kerinci tersimpan ribuan benda budaya zaman prasejarah hingga zaman sejarah, dan masyarakat di Alam Kerinci juga memiliki bahasa dengan 178 dialeg Kerinci dan mata uang tersendiri.

Hal ini disampaikan Saidina Muas,S.Pd,M.Si Pemerhati Budaya Kerinci/ Alumni Pasca Sarjana Universitas Malaya-Malaysia dalam perbincangannya bersama wartawan media ini kemaren, dan sebagaimana dengan hasil penelitian para ahli dalam dan luar negeri menyimpulkan bahwa Suku Kerinci merupakan suku tertua yang ada di Pulau Sumatera, sejak awal telah memiliki aturan-aturan atau norma moral yang menuntun kehidupan masyarakat di alam Kerinci, suku Kerinci merupakan salah satu pendukung Kebhinekaan Tunggal Ika di Nusantara, hal ini tercemin pada ico pakai (penerapan) adat istiadat nya yang disebut “tak lapuk di hujan, tak lekang dipanas. Bhineka Tunggal Ika secara simultan tidak dapat dipisahkan dengan Panca Sila.

Mengutip pendapat sejumlah ahli dan ilmuawan disebutkan bahwa unsur-unsur Panca Sila secara material terdapat di dalam adat istiadat kebudayaan bangsa Indonesia asli. Oleh sebab itu nilai-nilai moral yang terkandung di dalam adat istiadat Kerinci tidak dapat dipisahkan dari pengamalan nilai-nilai Panca Sila, mengingat moral erat kaitannya dengan adat maka sepintas kita perlu memahami pengertian adat.

Kata Adat berasal dari bahasa Yunani berupa kata Majemuk yakni A= tidak dan DAT= Nyata. Jadi depenisi Adat secara singkat berarti sesuatu yang tidak nyata tetapi terasa, seperti moral etika, budi dan kemanusiaan, semuanya merupakan sesuatu yang tidak nyata, tetapi terasa dan bermakna bagi makhluk yang dinamakan manusia.”kata Saidina Muas,M.Si”.

Definisi adat dapat dikatakan dasar pikiran tentang tata kehidupan yang berdasarkan budi, moral, etika dan kemanusiaan. Pengetahuan tentang adat merupakan sebuah ajaran budi yang mengarah kepada nilai-nilai luhur manusia sebagai subjek dan tingkah lakunya sebagai objek yang tercermin. Jika seseorang dinamai tidak beradat berarti tinggallah budi pada dirinya, ia cenderung melakukan tindakan tidak terpuji/demoralisasi.

Pada Prinsipnya adat erat kaitannya dengan Agama Islam yang dianut oleh masyarakat alam Kerinci, sejak berabad-abad adat telah menjadi bagian dari tata cara berbakti kepada sang Khalik. Sebelumnya ketika Agama belum memasuki kehidupan masyarakat alam Kerinci adat merupakan pandangan hidup masyarakat alam Kerinci pada masa itu, setelah kedatangan agama Islam maka Agama berfungsi sebagai pengontrol terhadap adat.

Melalui seleksi alam, adat-adat yang belum bersesuaian dengan Agama perlahan-lahan dapat dihilangkan dan disesuaikan dengan ajaran moralitas Agama, dalam adat pada masa lalu sering ditemui hal-hal yang bertentangan, namun kehadiran Agama Islam dalam kehidupan masyarakat alam Kerinci, maka agama Islam memperbaiki dan meluruskan hal-hal yang belum berkesesuaian.

Sebelum ajaran Agama Islam memasuki kehidupan masyarakat alam Kerinci pada masa itu adat masyarakat alam Kerinci banyak bersentuhan dengan pengaruh-pengaruh dari luar seperti pengaruh agama Hindu, Budha dan kemudiaan Islam memperbaiki hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Sejak saat itu hubungan antara adat dengan agama Islam dan sejak saat itu dalam adat alam Kerinci di kenal dengan seloko “Adat bersendi syara’-syara’ bersendi Kitabullah. Adat berbuwul sentak, Syara’ berbuwul mati. Adat boleh berubah, syara’ tidak boleh berubah”. Seloko atau petitih ini terdapat di Kerinci, Minangkabau dan Jambi dan masih dijadikan pedoman masyarakat adat.

Sebelum agama Islam masuk dan berkembang di alam Kerinci , masyarakat Suku Kerinci telah mengenal Hukum Adat, bahkan di Tanjung Tanah Kecamatan Danau Kerinci masih tersimpan Naskah Melayu Tertua atau lebih dikenal dengan Undang Undang Tanjung Tanah, dan berdasarkan hasil penelitian Uli Kozok, di Tanjung Tanah ditemui Kitab Undang Undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu yang tertua. Sebelumnya naskah melayu tertua adalah dua surat berhuruf Jawi, bertanggal tahun 1521 dan 1522 M yang di tulis oleh Sutan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja Portugal. Kedua surat itu mampu bertahan selama hampir 500 tahun karena di simpan dalam arsip nasional di Lisabon – Portugal, naskah tersebut disimpan secara aman, jauh dari ancaman bencana alam dan hawa lembab dan panas.

Menurut Mantan Depati Talam dan Jarjis Tokoh Masyarakat Tanjung Tanah Kecamatan Danau Kerinci berdasarkan hasil pengamatan dan hasil Penelitian Uli Kozok disebutkan bahwa Naskah Tanjung Tanah tidak di tulis diatas kertas, melainkan di tulis diatas daluwang, Naskah Tanjung Tanah tulisannya di mulai dari beberapa kalimat berbahasa sansekerta, dan naskah Tanjung Tanah sebagian besar di tulis dalam bahasa melayu. naskah Tanjung Tanah teksnya berasal dari abad ke 14, dan bahasa melayu pada abad tersebut jauh berbeda dengan bahasa melayu yang digunakan saat ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah Tanjung Tanah minimal berusia seratus tahun lebih dari pada naskah yang selama ini dianggap sebagai nakah melayu tertua yakni naskah yang dari Ternate yang berhuruf Jawi dan bertanggal 1521 dan 1522 M, dan naskah Tanjung Tanah berdasarkan hasil penelitian berasal dari zaman sebelum agama Islam tersebar di pelosok pelosok alam melayu di sekitar bukit barisan.

Adanya temuan naskah Tanjung Tanah dan naskah beraksara Incung di dusun dusun di alam Kerinci membuktikan bahwa masyarakat di alam Kerinci pada masa itu telah memiliki kebudayaan dan Peradaban yang maju.”Kata Jarjis”

Menurut Saidina Muas,M.Si, berdasarkan Buku yang di tulis oleh Dr.Uli Kozok ,dkk disebutkan bahwa Naskah Tanjung Tanah telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center pada Oktober 2004, dan hasilnya menunjuk¬kan bahwa bahannya daluang (Broussonetia papy¬rifera Vent).

Untuk memastikan bahwa ba¬han¬nya memang daluang maka sampel nas¬kah Tanjung Tanah diperiksa di mikroskop dan dibandingkan dengan dua naskah daluang lain¬¬nya serta dengan bahan lain yang juga di¬pa¬kai di Indonesia sebagai bahan kain. Di an¬ta¬ranya termasuk sampel kain yang terbuat da¬ri kulit kayu sukun (dari Bondowoso), dan sam¬pel kain yang terbuat dari kulit kayu be¬ringin yang berasal dari Tanah Toraja.

Dari ha¬sil perbandingan ciri-ciri serat diketahui bah¬wa naskah Tanjung Tanah memang ter¬buat dari daluang. Pemeriksaan mikroskop juga menunjukkan bahwa naskah Tanjung Ta¬nah tidak diolesi kanji, dan bahwa pada se¬rat¬nya masih ada pektin serta hemiselulose. Serat ka¬yu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut pek¬tin dan hemiselulose. Pada proses pe¬mur¬ni¬an kulit kayu daluang untuk menjadi bahan tu¬lis kadar kedua hidrat arang biasanya menyu¬sut sehingga tinggal serat murni. Ada¬nya kadar pektin serta hemiselulose dalam sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indi¬ka¬tor bahwa proses pembuatan naskah ter¬ma¬suk sederhana. Di samping itu permukaan da¬lu¬ang Tanjung Tanah juga termasuk kasar di¬ban¬¬dingkan dengan naskah daluang lainnya yang diperiksa sebagai bahan pembanding.(budi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button