Kerincitime.co.id, Berita Jakarta – Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mencecar Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo terkait pelanggaran penggunaan surat persetujuan impor (SPI) ikan.
“Kenyataannya, mereka yang diberikan SPI tapi tidak digunakan untuk impor ikan, melainkan dialihkan ke perusahaan lain, sehingga yang melaksanakan impor ikan itu orang lain, itu bagaimana. Apakah di Kementerian Kelautan ada instrumen untuk mengawasi atau evaluasi atau memonitor,” tanya hakim Joko Subagyo, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/12).
“Dari apa yang diatur baik di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 58, kami tidak sampai sejauh itu yang mulia. Tugas kami di KKP menerbitkan izin impor, kemudian yang bersangkutan merealisasikan izin impor tersebut, masuk ke Indonesia. Di sana tentu ada beberapa seperti di Bea Cukai, kemudian di kami ada BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) yang akan melakukan pengecekan apakah ikan yang diimpor tersebut tidak mengandung bahan-bahan hayati yang dikhawatirkan mengganggu sumber daya perikanan,” ujar Nilanto pula.
Nilanto menjadi saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT Navy Arsa Sejahtera Mujib Mustofa yang didakwa menyuap Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Perikanan Indonesia Risyanto Suanda sebesar 30 ribu dolar AS (sekitar Rp419 juta) untuk mendapat persetujuan impor hasil perikanan.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Risyanto menunjuk Mujib untuk memanfaatkan persetujuan impor “frozen pacific makarel” sebanyak 150 ton dengan “fee” Rp1.300 per kilogram.
Namun bukan PT Navy yang mengimpor melainkan “frozen pacific makarel” PT Sanjaya Internasional Fishery (SIF) dengan keuntungan sebesar Rp200 per kilogram untuk Mujib. Ikan lalu didapat dari pemasok China, yaitu Tengxiang (Shishi) Marine Product Co Ltd.
“Pertanyaan saya titik beratnya lebih ke penyalahgunaan surat izin impor. Ini kan ada kaitan dari KKP izin impor di lapangan terjadi penyimpamgan. Perindo (Perikanan Indonesia) sendiri juga tidak menggunakan SPI-nya untuk impor ikan, tapi malah dipergunakan pihak lain, apa ada instrumen pengawasan. Kalau tidak ada pengawasan, praktik seperti ini akan terjadi lagi. Bagaimana,” tanya jaksa Joko.
“Yang mulia, seperti yang saya sampaikan berdasarkan Peraturan Menteri No. 58, kami tidak memiliki kewenangan untuk menguji sampai sedetail itu, namun demikian, untuk informasi ‘output’ informasi ini diizinkan, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku ikan. Untuk makarel bisa, pertama digunakan untuk para penindak dan bisa digunakan pasar modern katering dan lainnya,” ujar Nilanto yang pernah menjadi Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, menjawab pertanyaan jaksa.
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 58/PERMEN-KP/2018 tentang Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan Selain Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, dilansir Brito.id media partner Kerincitime.co.id dari laman Antara.
“Dengan adanya kasus seperti ini, kalau dibiarkan terus akan terjadi lagi, lantas kalau kejadian ini terjadi apa ada sanksi,” tanya hakim Joko pula.
“Tentu semuanya menjadi pelajaran bagi kami dan pada saatnya kami akan hubungi Sekjen Kementerian Perdagangan, saya akan bicara dengan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, sistem harus kita perbaiki,” jawab Nilanto.
“Memang terhadap rekomendasi KKP, apakah Menteri Perdagangan terikat untuk memenuhi rekomendasi SPI itu,” tanya hakim M Siradj.
“Kalau yang dimaksud harus mengikuti 100 persen angka dari rekomendasi KKP tidak, sepenuhnya antara rekomendasi dan izin terbit berapa jumlahnya sepenuhnya kewenangan Kementerian Perdagangan tapi izin terbit tidak mungkin lebih satu angka pun dari yang direkomendasikan dari Kementerian Perikanan,” jawab Nilanto.
“Aturan dari mana,” tanya hakim M Siradj.
“Saya belum pernah membaca tapi ‘best practice’ kalau kementerian memberikan rekomendasi 100, maka izin terbit tentu maksimal 100 persen atau bisa di bawahnya,” jawab Nilanto.
“Bagaimana sistem kontrol KKP terhadap izin dari Kementerian Perdagangan,” tanya hakim Siradj lagi.
“Kami memiliki tabel, salah satunya realisasi dari 2 sumber pertama yaitu pertama dari pelaku usaha atau pemohon wajib melaporkan realisasi maksimal 3 bulan setelah izin impor direalisasikan, laporan itu wajib ke KKP, sedangkan di sisi lain kami dapat info dari sistem yang dibangun dari Kementerian Perdagangan,” jawab Nilanto.
Dalam dakwaan disebutkan petugas KPK menemukan daftar kebutuhan tabel ikan yang akan diimpor pada September 2019-Maret 2020 diserahkan pada 19 September 2019 kepada Risyanto.
Pada sebelah kanan tabel oleh Mujib diberi tulisan tangan berupa catatan angka, yaitu baris pertama 1.300, baris kedua 1.700, baris ketiga 1.300, baris keempat 1.700, dan baris kelima 1.300 dalam jumlah rupiah per kilogram sebagai keuntungan yang akan diberikan oleh Mujib kepada Perum Perikanan Indonesia bila persetujuan impor hasil perikanan diberikan kepada Mujib. (Irw)