opini

Opini: Aspek Budaya Memilih dan Menu Pilkada yang ‘Tersedia’

(politik dinasti sebuah keinginan oleh segelintir kelompok elite berkuasa)

Oleh; Syamsul Bahri, SE

Memang Demokrasi yag diwujudkan Pemilu baik Presiden, Legesltif ataupun kapala daerah memberikan hak sepenuhnya kepada pemilih melalui luber dan jurdil serta one man, one vote (OMOV) yang dijamin oleh Konstitusi, sesungguhnya benarkan suara rakyat itu suara tuhan, jika kita lihat dari Ilmu manajemen marketing, bahwa masyarakat pemilih adalah market atau pasar yang mungkin bersifat pasar bebas atau tidak.

Sedangkan sebagai penjual produk itu adalah Partai Politik baik sendiri maupun koalisi yang memiliki kecukupan parlemen threshold atau syarat yang telah ditentukan, dan produk tersebut adalah Calon Kepala Daerah yang telah mendapat restu dari Partai Politik atau koalisi dalam hal ini merupakan kewenangan Dewan Pengurus Pusat (DPP), sehingga menu yang dijual ke pasar atau market atau masyarakat pemilih, adalah produk atau menu yang disepakti oleh Partai Politik dan atau koalisi melalu mekanisme yang diatur oleh masing-masing partai.

Produk yang dihasilkan oleh Partai/Koalisi ini tentunya tergantung orientasi masing-masing partai, walaupu secara proses masing-masing partai telah melakukan proses bertahap mulai dari Kabupaten/Kota/Provinsi sampai Pusat yang mengedepan procedural proses melalui pendaftaran, survey elektabilitas, penyampain Visi dan misi atau fit and proferty test yang menjadi bahan pertimbangan bagi DPP, namun apakah tahapan-tahapan tersebut betul menjadi pertimbangan utama, atau ada pertimbangan lebih utama yaitu “mahar politik” yang akan mengebiri tahapan yang besifat procedural.

Pertimbangan yang tidak bersifat procedural untuk merekomendasi para pra Bekal Calon Kepala daerah menjadi Bakal Calon menuju Calon Kepala Daerah ini sering memunculkan polemic, karena proses rekruitmen baik melalui survey elektabilitas, fit and proverty test cenderung tidak dibuka secara transfaran ke public, sehingga kemunculan Bakal Calon Kepala Daerah belum memenuhi aspek pasar sangat besar, termasuk munculnya calon yang berusaha mempertahankan dinasti kekuasaan atau berusaha membentuk dinasti kekuasaaan atau Dinasti politik.

Karena kecenderungan para calon dinasti politik ini sudah mempersiapkan diri atau dipersiapkan lebih awal, baik dukungan infrasruktur politik, dan infrastuktur birokrasi, pengusaha, financial, sponsorship dll yang lebih mumpuni dibanding calon non dinasti politik, maka menu yang akan keluar dari partai politik di suatu wilayah Pemilihan, terutama adanya indikasi oleh Politik Dinasti, dengan scenario adalah (1) Pemelihan melawan kotak kosong; (2) PemIlihan dengan Head to head (2 pasangan Calon Kepala Daerah, antara dinasti politik melawan non dinasti politik), sedangkan jika dalam wilayah pemilihan tersebut lebih dari 2 pasangan calon kepala daerah, artinya kekuatan politik dinasti diwilayah tersebut cukup lemah dan/atau cukup kuat, karena ada kecenderungan munculnya calon-calon boneka, untuk menghacurkan atau memecah belah suara dari calon yang dianggap kuat dalam wilayah pemilihan tersebut, kita harapkan tidak terjadi pada PILKADA serentak tahun ini.

Menu ini akan membuat pemilih terjebak dengan calon kepala daerah yang bukan menjadi pilihan pemilih atau bukan merupakan aspirasi dari pemilih, tentunya Pemilih akan terpengaruh dengan politik dagang sapi yang akan dimainkan, sehingga kekuatan financial calon yang telah menyiapkan diri lebih awal menjadi faktur utama untuk memenangkan Pemilihan Kepala Daerah ini yang dikenal dengan invisible hand, sampai saat ini secara aspek hukum sangat sulit dibuktikan dan keterbatasan waktu pembuktian.

Menurut Yudhi Rachman dalam (pilkada, dinasti politik di era desentralisasi) bahwa Otonomi Daerah dan Desentralisasi yang diterapkan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 ternyata belum mensejahterakan rakyat. Itu terjadi akibat akses sumber daya ekonomi masih dikuasai elite politik dan pengusaha. Kelompok masyarakat sipil belum benar-benar mandiri dan terlibat dalam pengambilan kebijakan, karena kebebasan berdemokrasi di Indonesia belum genap 20 tahun sejak era reformasi. Tapi saat ini sudah dirusak oleh muncul oligarkhi dan politik dinasti. Padahal Tata nilai dalam demokrasi memberi peluang siapa saja rakyat jelata bisa jadi pemimpin.

Kondisi yang terjadi saat ini menyebabkan tanggung jawab pemerintah lokal untuk mensejahterakan masyarakat juga masih rendah. Kelompok masyarakat sipil yang berdaya kemudian beralih aktif di partai politik sehingga masuk dalam lingkaran elite kekuasaan. ”Akibatnya, Desentralisasi riuh rendah, tetapi masyarakat belum sejahtera. Sumber daya masyarakat sipil di daerah juga masih kurang, Secara umum, kesetaraan politik masyarakat sipil membaik, tetapi kesadaran lingkungan dan sumber daya masyarakat sipil masih rendah.

Seperti kita ketahui bahwa Oligarki dan politik dinasti sebuah keinginan oleh segelintir kelompok elite berkuasa dan lingkarannya. Bangunan oligarki hanya ingin melanggengkan kekuasaanya melalui keturunan dan kelompoknya, melalui mekanisme berbalut demokrasi berusaha menacapkan dinasti kekuasaannya pada Pilkada 2020 mendatang.
Sebab hak untuk maju dalam Pilkada atau pemilu adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan aturan hukum sudah cukup lengkap mengatur. Hukum mengatur hak konstitusional setiap orang untuk berkompetisi menduduki jabatan publik kecuali pengadilan mencabut hak politik tersebut. Jika kita keberatan terhadap calon tertentu, UUD 1945 juga menjamin hak kita yaitu hak memilih, jadi sederhananya gunakan hak memilih kita untuk menolak dinasti politik
Beberapa alternative perlu dilakukan menurut Andi Saputra adalah Pertama, perlunya pengadilan untuk semakin menggalakkan dijatuhkannya pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dapat maju dalam pemilihan jabatan publik kepada pelaku tindak pidana korupsi. Jika hal ini dilakukan akan dapat mengurangi peluang majunya kembali calon kepala daerah yang bekas narapidana korupsi sebagaimana masih terjadi di beberapa daerah.
Kedua, partai politik dalam mengajukan calon kepala daerah dengan alasan apa pun seharusnya tidak lagi memaksakan diri mengajukan calon yang berasal dari dinasti politik yang miskin kompetensi dan tuna integritas. Karena jika hal itu dilakukan hanya akan mempermalukan partai politik di kemudian hari.
Ketiga, penyelenggara dan pengawas pemilu perlu benar-benar menegakkan dan memberikan sanksi hukum terhadap calon dari dinasti politik yang dalam kampanye Pilkada terbukti memanfaatakan jabatan keluarganya maupun apabila melakukan money politic untuk mempengaruhi pilihan pemilih,” papar Bayu.
Keempat, jika masyarakat sudah jenuh terhadap calon dari dinasti politik maka masyarakat secara bersama-sama sesuai hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 dapat melakukan kampanye atau Gerakan moral untuk mengajak tidak memilih calon dari dinasti politik. Gerakan dan kampanye rakyat untuk tidak memilih calon dari dinasti politik ini harus dilakukan jika tidak ingin dinasti politik bercokol dan berkuasa.
Menurut Bantennews (Politik Dinasti yang Akan Merusak Negara Indonesia 17/01/2019) Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri tercinta. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin.
Tetapi, kalau kita amati dengan jernih dan saksama, jelas sekali dalam pemerintahan Dinasti Politik kekuasaan semua atas nama kerabat dan keluarga, sehingga mekanisme proses checks and balances antar Lembaga, fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal bahkan ditiadakan. Padahal, untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol penting, sehingga fungsi kontrol terhadap pemerintah lemah, terjadilah budaya kolutif dan koruptif.
Maka jika memang pemilih yang tentunya memiliki hak untuk memilih, dengan scenario menu pilkada yang disusun oleh Partai Politik menjadi menu Pilkada bernama Calon Kepala Daerah ditetapkan KPU masing-masing, baik yang ingin mempertahankan Dinasti Politik atau tidak maka Pemilih yang memiliki hak, agar menolak dan tidak memilih Calon Kepala Daerah yang berpeluang melanjutkan atau mempertahan atau berasal dari Politik Dinasti, itu akan lebih bijak jika memang rakyat pemilih selaku yang memiliki hak menentukan dalam Pemilukada tersebut menghendaki Pemilu demokrasi ini bertujuan untuk mewjudkan nilai-nilai kesejahteraan bagi rakyat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button