Penetapan Tanah Rawang sebagai Pusat Musyawarah Adat Kerinci
Kerincitime.co.id – Kerinci Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada masa lampau di Kerinci terdapat 3(tiga) sistim Pemerintahan yang berdaulat dan memayungi masyarakat dan negeri. Ketiga pemerintahan itu ialah pemerintahan “Koying” atau “Kerajaan Negeri Koying”,Pemerintahan berikutnya disebut dengan Pemerintahan Segindo atau Negara Segindo alam Kerinci dan Pemerintahan selanjutnya dikenal dengan nama pemerintahan Depati atau Negara Depati Empat Alam Kerinci.Di alam Kerinci terdapat dua tempat musyawarah(Aryadi Juaini,S.Hi-Rawang :12:1:2013) yakni di Sandaran Agung yang disebut tanah khalifah tempat membahas bidang politik, ekonomi dan tempat menyambut tamu dari Jambi. Dan Hamparan Besar Tanah Rawang merupakan tempat memusyawarahkan hal hal yang menyangkut hukum adat dan hukum Syara’ di alam Kerinci termasuk untuk membahas surat dari luar dan berfungsi sebagai tempat rapat Depati IV – 8 Helai kain.
Dengan adanya kesatuan Kelembagaan Depati IV- 8Helai kain, Pegawai Rajo, Pegawai Jenang, Suluh Bindang Alam Kerinci, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat suku Kerinci merupakan satu kesatuan adat dan satu kesatuan masyarakat, meski adat masyarakat suku Kerinci sama, akan tetapi ico pakai berlainan
Masyarakat Suku Kerinci sejak masuknya pengaruh Islam telah mengenal ”Adat Bersanding Syara’- Syara’ bersendi Kitabullah”. Pada masa itu kehidupan masyarakat suku Kerinci hidup dalam tatanan norma norma adat, suasana kehidupan bermasyarakat berlansung dengan damai dan tentram, dan pada masa itu masyarakat suku Kerinci telah menjalin hubungan dengan Kerajaan Melayu di Jambi, Inderapura dan Pagaruyung, hubungan itu semakin di perkokoh dengan adanya perjanjian di Bukit Sitinjau Laut”(Bukit Paninjau Laut)
(Dari hasil penelitian E.J.De Sturler dalam tesisnya “Het Grend Gebiel van Nederlandsch oost Indie in Perband met Tracten Spanye, England en Portugal (1861) dan di sitir oleh DR.Utrech,SH di dalam bukunya“Sejarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok”, dikemukakan daerah Kerinci merupakan Kerajaan yang berdiri sendiri seperti Aceh di Pulau Sumatera sebelum kedatangan Belanda dan suku Kerinci merupakan salah satu bagian suku melayu tertua di nusantara.
Ketika Kolonial Belanda mulai mencengkramkan kuku imprealisnya di alam Kerinci (1903) Belanda memanfaatkan sistim pemerintahan adat sebagai alat untuk menanamkan cinta masyarakat kepada Kolonial Belanda.
Pada tahun 1918 Kolonial Belanda membentuk undang undang ordonansi tahun 1918 (Staat Blaad-No.677) di lengkapi dengan Inlandche ordonansi buitenggewesten ( IGOB ) tanggal 3 September 1938 ( Staatblaad No:490) Jo Stb 1938 No 681) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura, diberi nama peraturan negari di luar Jawa, ditegaskan pula bahwa susunan dan hak negeri dan alat negeri sedapat dapatnya diatur menurut kemauan adat. Di dalam Pasal 8 ditentukan bahwa untuk menjalankan pemerintahan negeri harus ada kesatuan negeri, dari satu kesatuan negeri tersebut, maka Kerinci dari Pemerintahan Depati IV-8 Helai Kain ( Otonomi Asli) ini berubah menjadi Pemerintahan Kemendapoan.Setelah Pemerintahan Depati Empat Delapan Helai Kain dirubah statusnya menjadi Kemendapoan, pada saat itu siapa yang menjadi Depati, maka beliaulah yang ditunjuk menjadi Mendapo
Mendapo asal katanya adalah Pendopo secara luas dapat diartikan rumah atau tanah yang merupakan pusat pemerintahan beberapa negeri atau dusun. Yang menjadi Mendapo pada masa itu adalah mereka yang memegang Gelar Depati yang tertinggi di daerah itu, misalnya Semurup yang memegang Jabatan Mendapo adalah Depati Kepala Sembah, jika di Rawang yang memegang jabatan Mendapo adalah Depati Mudo dan Depati Singolago (Dpt.H.Dailami.As,BA Koto Baru 29:12:2012)
Pembagian Depati IV- 8 Helai kain merupakan pembagian pusat Kemendapoan, seperti 3 di hilir 4 dengan tanah Rawang, dan Tiga di Mudik 4 dengan Tanah Rawang ditambah dengan Kemendapoan Lima Dusun serta Tiga Luhah Tanah Sekudung.
Dengan diterapkannya politik Pecah Belanda (devide et ampere) yang diterapkan oleh Kolonial Belanda, berdampak pada perpecahan kesatuan kelembagaan yang sejak turun temurun telah berlansung di alam Kerinci. Dampak lainnnya fungsi dan peran Sandaran Agung sebagai Tanah Khalifah dan Hamparan Besar Tanah Rawang dirasakan semakin kabur dan nyaris tenggelam, dengan adanya aturan baru yang diterapkan oleh Kolonial Belanda maka semua persoalan cukup diselesaikan di tingkat dusun atau paling tinggi hingga ketingkat Kemendapoan.
Pada masa Kemerdekaan dikeluarkannya Undang- undang nomor 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa, maka sistim Pemerintahan Kepala Mendapo yang juga Kepala adat di hapus, dan dampak dari semua perubahan menimbulkan disitegrasi adat dan istiadat dan masyarakat yang sangat mempengaruhi kehidupan sehari hari di dalam masyarakat.
Drs A.Latif Karimi dalam bukunya menulis bahwa Depati IV-8 Helai kain berdiri tahun 1295, dengan pokok pikiran bahwa Depati Rencong Telang yang ada sekarang di Pulau Sangkar adalah Depati ke 24, diperkirakan satu generasi yang menjabat Depati selama 25 tahun, dengan demikian Depati Rencong Telang pertama sudah ada sejak 600 tahun yang lampau, Sementara Drs. Thahar Ramly menulis bahwa Pemerintahan Depati IV-8 Helai kain telah berdiri sejak tahun 1290 (Anatastasia Wiwik Swastiwi,Dkk-Balai Pelestarian nilai nilai Budaya Tanjung Pinang :2012;hal 118).
Setiap Mendapo atau “Federasi ke Depatian”di alam Kerinci mempunyai Tanah Mendapo. Tanah Mendapo berfungsi sebagai tempat membentuk “ Karang Setio”. Karang setio atau Karang buatan, ba,it kesetiaan kepada aturan yang telah disepakati.Tanah Mendapo mempunyai pengertian tempat atau balai pertemuan para Depati Ninik mamak dengan anak kemenakannya untuk membicarakan sesuatu masalah yang prinsipil seperti upacara penobatan para pemangku adat, ninik mamak, perang.dll
Disamping Tanah Bersudut Empat, Tanah Mendapo, adalagi semacam status tanah yang disebut tanah hamparan dan tanah Khalipah dan tanah Undang , Tanah hamparan ada 2 tempat dan 1 tanah Kalipah dan 1 tanah Undang di Alam Kerinci yakni: Hamparan tua di Hiyang Tinggi, Balai Meliintang di Koto Keras sekarang, Hamparan besar tempatnya di Rawang, dan Tanah Kalipah di Sanggaran Agung dan Tanah Undang di Seleman.
Hamparan di Hiang Tinggi sudah lama tidak berfungsi dan kedudukkannya diganti dengan Hamparan Besar Tanah Rawang setelah perubahan dari Balai Melintang Koto Keras. Hamparan Tua timbul pada masa pemerintahan Sigindo sigindo menguasai alam Kerinci. Tanah Kalipah ialah batas perjalanan atau tepatan para raja raja dari Jambi yang naik ke alam Kerinci untuk mengadakan pertemuan dengan Depati depati dan kepala kepala suku se alam Kerinci, disini raja masih didaulat dan diagungkan.Akan tetapi bila masuk ke Hamparan Besar Tanah Rawang, Raja duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan para Depati depati se alam Kerinci, kedudukan hamparan Besar Tanah Rawang pada saat ini dapat kita identikkan sebagai gedung MPR/DPR/DPD Republik Indonesia.pada masa lalu para pemangku adat duduk dibawah batangkayu Kanyaho Batuah.
Menurut Waris yang ber jawat,Halifah yang dijunjung serta petatah petitih, junjung hidup boleh dipanjat, junjung mati boleh diteliti, bukan bersuluh dengan batang pisang tetapi bersuluh ke matahari. terang di Arasy lah terang pula di alam.
Berdasarkan tutur dan sejarah yang disampaikan para pendahulu (makalah Depati Atur Bumi), antara lain seperti disampaikan ulama dan ahli adat di tanah Pariyangan Tengku Qori(Alm) Mantan Depati Atur Bumi ) menerangkan bahwa “ Nenek Indar Jati ”, dianugerah 3 orang keturunan yakni Indar Nan Bersusu Tunggal, Indar Nan Berterawang Lidah, dan Indi Mariam.
Indar Nan Bersusu Tunggal memiliki 3 orang keturunan masing masing Dayang Indah, Dayang Rawani dan Dayang Ramayah, menurut catatan sejarah Dayang Indah memiliki keturunan sebanyak 5 orang masing masing Dari Indah, Dari Setu, Indi Cincin, Mipin dan Mas Jamain. Perkembangan generasi generasi baru di alam Kerinci yang pesat maka oleh Nenek Nan Bersusu Tunggal Gelar Depati Yang Tunggal, Nenek Indar Bayo Gelar Depati Atur Bayo,Nenek Yang Berterawang Lidah Gelar Depati Kartudo dan Nenek India Mariam Gelar Depati Yang Negoro, beliau bersepakat dan bermufakat ” Karena bulat air dek pemuluh, Bulat Kato dek Mufakat”, maka mereka bermufakat dan bersepakat untuk mengangkat “Sultan Mu’alim Hidayat” menjadi Depati Batu Hampar untuk dikemukakan kedepan menjadi orang yang berkata dulu sepatah, berjalan dulu selangkah untuk menjadi kepala kerajaan ditanah alam Kerinci, setelah mengucapkan Sumpah Krastio, maka resmilah Depati Batu Ampar menjadi pemimpin Kerajaan di alam Kerinci.
Agar tercipta rasa kesatuan dan persaudaraan serta menciptakan satu kesatuan hukum adat di wilayah kerajaan yang berdaulat, maka Depati Atur Hampar membentuk kembarnya Tiga di Hilir dengan maksud agar roda pemerintahan Bauleh panjang, Bakampauh Libea, masing masing kembarnya adalah Depati Biang Sari di Pengasi, Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar dan Depati Muaro Langkap di Temiai, dan inilah yang disebut dan dikenal dengan “Depati Empat di Tanah Kerinci Tinggi, dalam waktu yang bersamaan dibentuk lagi di Kerinci rendah yang dikenal dengan Tiga di Baruh masing masing adalah Depati Setio Beti di Perentak (Pangkalan Jambu),Depati Setio Nyato di Limbur Merangin dan Depati Setio Rajo di Nalo Bangko.
Pertumbuhan masyarakat dan semakin bertambahnya pemukiman, maka wilayah kekuasaannya kembali di mekarkan menjadi dua bagian, mulai dari Seleman kearah mudik termasuk sebagian wilayah Keliling Danau, Sitinjau Laut, Sungai Penuh, Hamparan Rawang, Air Hangat Timur, Gunung Kerinci, Kayu Aro berada dalam kekuasaan Depati Batu Hampar, sedangkan dari Seleman ke Hilir untuk wilayah kekuasan Depati Batigo, yakni Depati Biangsari di Pengasi menguasai wilayah sebahagian Kecamatan Gunung Raya, Kecamatan Danau Kerinci, Sedangkan kekuasaan Depati Rencong Telang berada pada sebahagian Kecamatan Gunung Raya, Kecamatan – Danau Kerinci, Wilayah Muara Siau – Jangkat dan Kecamatan Tabir, Sedangkan kekuasaan Depati Muara Langkap berada pada sebagian Kecamatan Gunung Raya dan Kecamatan Sungai Manau.
Karena perubahan zaman yang begitu pesat serta pertumbuhan penduduk yang terus mengalami peningkatan, maka untuk menjawab kebutuhan zaman maka wilayah yang semula dibagi dua, kembali dimekarkan menjadi “Lateh Yang Enam ”,yakni Tiga disebelah kanan yaitu Sungai Tebat di huni oleh Puti Dayang Ramayah, Talang Banio Kemantan Mudik di huni oleh Bungo alam dan Lateh Tebing tinggi di huni oleh Mangku Agung, sementara di sebelah kiri yaitu Lateh Koto Pandan di huni oleh Incik Permato, Lateh Koto Limau sering di huni oleh Pajinak dan Lateh Koto Bingin Rawang di tunggu oleh Nenek Unggok/Nenek Telago Undang
Hamparan tua tanah Jerangkat Tinggi (Hiang Tinggi) selama berpuluh tahun merupakan tempat pertemuan para Depati untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat suku Kerinci. Mengingat bentang alam yang sulit dijangkau dan jarak tempuh yang relative jauh, maka atas mufakat Depati-depati yang ada di wilayah hilir dan mudik sepakat menetapkan “Hamparan Besar Tanah Rawang” sebagai tempat musyawarah kerapatan adat alam Kerinci terutama untuk menyelesaikan silang sengketa diantara anak jantan dan anak betino baik yang ada
MengutipTambo Kerinci oleh DR.P.Voorhoeve tahun 1941, Hamparan Besar Tanah Rawang berfungsi sebagai balai musyawarah tertinggi Depati delapan helai kain (Tigo di Mudik Empat Tanah Rawang,Tigo di Hilir Empat Tanah Rawang) Hamparan pada masa lalu juga berfungsi sebagai tempat membicarakan masalah adat dan Syara’pada masa lalu ketika persoalan yang menyangkut syarak’ yang dapat menimbulkan kesalahan pahaman dan perpecahan dengan sesama umat di selesaikan di Hamparan Besar Tanah Rawang, dengan arti kata Hamparan Besar Tanah Rawang merupakan perpaduan Syarak’ dengan Adat.
Dalam hal ini(Depati Damhuri Abdullah:8:3:3013) adat di pegang oleh Depati IV- 8 Helai kain,maka Syarak’- dipegang oleh Kiyai Nan Batujuh (Depati Nan Batujuh),Sampai beberapa tahun yang silam di daerah Rawang tumbuh sebatanng pohon kayu besar dan berdaun rindang yang dikenal dengan nama “KANYAHO BATUAH” tumbuh disekitar tanah sebingkeh, dibawah Kanyaho Batuah yang rindangnya pepohonan inilah para Depati se alam Kerinci melakukan pertemuan / duduk kerapatan untuk membahas dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat suku Kerinci.(bj)