Belajar dari Depati Parbo Oleh : Agung Iranda
Depati Parbo adalah gelar adat yang diberikan pada Muhammad Kasib. Dari rahim seorang Ibu bernama Kembang, yang merupakan pasangan seorang suami bernama Bimbe. Tepat pada tahun 1839, di sebuah desa Lolo Kecil ia dilahirkan. Kelahirannya seperti tumbuhnya sang fajar di pagi hari, kala itu bertepatan era kolonialisme yang mengangkangi bangsa Indonesia. Bagi penulis, kelahirannya merupakan anugerah yang perlu disyukuri, mengingat pada awal abad ke-20 kekuasan Belanda mulai mendekat menuju bumi sakti Alam Kerinci.
Beberapa daerah seperti Indrapura, Muara Labuh, Muko-muko, Bangko yang jaraknya hanya sejengkal dan sibidang tanah dengan Kerinci sudah berada dibawah kontrol Belanda. Tatkala itu sedang menyeruak perang Jambi yang hiruk pikuk, suasana semakin mencekam, pada perang Jambi muncul seorang heroik yang gagah berani Sultan Taha Syaifuddin, Sultan Taha bukan lelaki biasa, dengan keberaniannya memecah pekik, menumbuhkan mentalitas pejuang sejati yang memiliki jiwa altruism yang tinggi. Atas kegigihan yang tidak kenal kompromi, Sultan Taha berhasil menumbas pasukan belanda, hingga menelan korban nyawa maupun fisik di pihak Belanda.
Sikap kepahlawanan yang melekat pada Sultan Taha Syaifudin hampir sama dengan apa yang ada pada diri Depati Parbo. Depati Parbo memiliki kelebihan yang oleh orang satu zaman dengannya terlihat sangat aneh dan berbeda, Ciri khasnya sudah terlihat sejak mulai ia dilahirkan. Dimana pada bagian gerahamnya, tumbuh seperti besi bewarna hitam. Ada kepercayaan orang dulu bahwa itu gejala manusia kuat, sama halnya dengan Si Pitung atau kisah-kisah heroik lainnya di seluruh daerah Indonesia.
Hal ini sangat beralasan, bukan sekedar mitos apalagi fiktif belaka, Menurut CW. Watson (1978) bahwa pendekatan kontremporer harus berani menelaah apa yang terjadi di masa silam. Pola serta tata kehidupan yang terjadi jelas berbeda, pada era kolonial jika memakai perspektif indigenous history, maka kehidupan di daerah yang ada di Indonesia sangat tradisional, khususnya Kerinci memiliki kecendrungan immateri, belum terjamah oleh unsur modernitas yang kuat. Masyarakat Kerinci umumnya, masih lekat dan percaya akan kekuatan supranatural diperpadu dengan unsur kebudayaan setempat yang dianut. Bukan kekuatan yang bersifat koorporasi dan institusional seperti yang ada pada era kontemporer saat ini, sekalipun kita tidak menafikkan bahwasanya kerinci telah tumbuh kekuatan serta struktur adat yang mapan, yang memiliki legalitas tinggi saat itu adalah Depati Empat delapan Helai Kain.
Depati Parbo sendiri tumbuh dalam tradisi lokal yang kental, dengan belajar ilmu bela diri, pencak silat, ia pun diajarkan untuk mahir memakai keris, pedang dan tombak. Disamping itu, hari-harinya dihabiskan untuk menekuni ilmu kebatinan diperpadu dengan ajaran Islam, karena itu karakter dan kekuatan fisiknya menjadi berbeda dengan khalayak, kulitnya tidak tertembus oleh besi, tidak termakan oleh peluru. Karena itu di kampungnya ia terkenal dengan sebutan ”german Besi”. Atas potensi lahiriyah tersebut, Depati Parbo punya modal untuk dengan mudah melumpuhkan kolonialis belanda. Ini sangat beralasan, gejala ini menunjukkan kilas representasi dari budaya masyarakat Kerinci. Pada titik ini, bahwa lelaki harus menjadi pendekar yang gagah berani, bagi pihak lelaki ada stigma yang berkembang dengan istilah “Belum kurik, belum mengambur” , artinya bahwa jika belum diisi dengan ilmu kebatinan dan bela diri, maka pemuda Kerinci belum boleh merantau (berjuang untuk hidup).
Dimana letak kepahlawan Depati Parbo?
Tahun 1900 M Belanda mulai melirik Kerinci, daerah yang dikenal dengan lahan yang subur, sejuk, serta kehidupan pertanian yang menjanjikan. Untuk melakukan ekspansi ke Kerinci, Belanda seakan menemukan jalan buntu, mengingat rakyat Kerinci dikenal kompak lagi fanatik, terutama terhadap adat istiadat dan ajaran Islam yang diimaninya. Dibawah komando Depati empat delapan halai kain, Masyarakat Kerinci mendirikan pilar-pilar, benteng kokoh hingga patroli, yang tidak boleh selangkahpun Belanda menginjakinya. Inisiatif Belanda tidak pudar begitu saja, Paling tidak muncul edaran surat dari Snouck Hurgronje. Menghasilkan 26 point, yang secara garis besar meminta agar penyerangan serta penyebarluasan wilayah kekuasan Belanda di Kerinci dipercepat.
Seperti biasa taktik penjajah hampir bisa ditebak, Mereka merumuskan akal bulus bahwa orang asli kerinci sebagai penggerak lapangan. Terutama orang Kerinci yang mendiami Muko-Muko, Daerah yang bersebelahan dengan Kerinci. Imam Mahdi dan Imam Marusa sebagai perwakilan Belanda, segera melaporkan bahwa Belanda berniat baik untuk mendirikan jalan serta tidak memungut pajak kepada masyarakat. Aksi tersebut ditentang habis oleh masyarakat, kemudian mereka menjumpai Pucuk tertinggi adat kerinci depati empat depalapan helai Kain, Dengan jalan perundingan kepada para depati, seperti Atur Bumi di Hiang, Biang Sari di Pengasi, Rencong Talang di Pulai sangkar, dan Muara Langkap di Temiai. Mereka seiya sekata berpendapat “ Menolak kedatangan Belanda, dengan maksud apapun”. Saat pasukan pengintai tiba di Lolo dan Lempur, dihadang oleh masyarakat, lalu terjadi pertempuran dan menewasakan Imam Marusa.
Pasca kejadian tersebut, Depati empat delapan helai Kain tidak tinggal diam, semangat membara dalam dada, seraya hidmat tunduk dalam sumpah setia masyarakat, tidak boleh ada pengkhianat, menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring. Perundingan itu merupakan pernyataan sikap yang tegas dan jelas, semua Depati dan tokoh masyarakat hadir di Sanggaran Agung. Saat itu dicetuslah semboyan amat masyhur di daratan Kerinci, yang sekarang dijadikan motto kota Sungai Penuh. “ Sehalun Suhak Seleteuh Bdei”. Artinya bahwa satu sorak seletus bedil, seluruh lapisan masyarakat tidak boleh berkhianat atau berpihak pada musuh (Belanda). Kata yang membakar asa, membusung dada, semua masyarakat turun ke jalan untuk mendendangkan lagu perjuangan, bagi mereka kala itu perjuangan adalah kehormatan, meski nyawa taruhannya. Setiap sudut-sudut perbatasan di jaga dengan ketat, semua masyarakat rela mengorbankan diri dan keluarga demi Kedaulatan rakyat.
Pada tahun 1902, Melalui Jalan Renah Manjuto pasukan Belanda dengan jumlah 120 bergerilya menuju Kerinci, mereka sangat yakin mampu menaklukkan Kerinci dengan jumlah yang sangat besar, Kerinci pasti takluk dibawah kebiadabannya. Sayang sekali harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Ditengah perjalan, mereka dihadang oleh pasukan yang hanya berjumlah 12 orang, tatkala mereka melepaskan peluru, bukannya malah membuat pasukan Kerinci mundur, mereka maju kedepan mengobrak-abrik barisan musuh, tanpa meresa sedikitpun terluka. Pasukan mendekat, membabat musuh dengan tombak, pedang, keris, hingga bambu runcing, Belanda akhirnya kucar-kacir, Kepandaian silat serta kekebalan tubuh menjadi modal untuk memenangkan pertempuran, sebanyak 50 orang pasukan belanda terkapar dan meninggal dunia. Sementara pasukan Kerinci pantang mundur selangkahpun, memaksa Belanda untuk menyerah. Pasukan yang gagah perkasa itu dikomandoi oleh Depati Parbo.
Nama Depati Parbo membumbung tinggi di langit, setiap Mendengar nama Depati Parbo, pasukan Belanda merinding ketakutan. Tidak pelak kemudian keluar ungkapan “ Kalau Depati Parbo belum ditangkap, Perang Kerinci akan terus berlanjut”. Iya, Depati Parbo menjelma menjadi malaikat yang begitu diharapkan kedatangannya, ia menumbuhkan semangat seluruh rakyat di setiap desa, wujudnya terkadang di Hiang, Siulak, Tamia, Pulau Tengah. Bahkan tempat yang tidak terduga sekalipun. Perawakannya yang tinggi, kulit kuning sawo, melekat kuat kewibawaan dan keberanian di jiwanya, sebagai seorang Depati, Ia sangat disegani di daratan Bumi Sakti Kerinci.
Sebagai manusia, tentu tak luput dari kekalahan. Pada hari Jum’at tatkala sedang melakukan shalat Jum’at di Lolo kecil, Ditengah kelalaian masyarkat, Belanda masuk dan mengepung area sekitar masjid. Semua yang berada disitu dikecam akan dibunuh, semuanya berbaring dan ditangkap, termasuk keluarga Depati Parbo yang menjadi incaran utama Belanda. Saat itu Depati Parbo yang masih bergeriliya di hutan Lolo, mendengar berita tersebut, membuat Depati Parbo semakin Geram. Sekalipun begitu sebenarnya ia tak mau menyerah begitu saja, Dia tetap ingin melakukan perlawanan, meskipun keluarganya dalam keadaan terancam. Baginya, urusan rakyat tetaplah yang utama. Hanya saja dengan alasan berunding, untuk melepaskan keluarga dan warganya, ia akhirnya turun ke Desa. Saat itu ribuan pasukan Belanda mengepung Depati Parbo, Depati Parbo terdiam seribu bahasa, tidak mampu berkutik dan melakukan apapun. Hingga ia ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Saat itu pula, tepat tahun 1903, kekuasaan Kerinci jatuh ke Belanda. Setelah berakhirnya perang di Pulau Tengah selama enam bulan lebih.
Depati Parbo dikembalikan Ke Kerinci tahun 1927, seiring usianya yang menua, ia pun menghadap ilahi tahun 1927 dikampungnya tercinta, Lolo Kecil. Linangan air mata serta penghormatan yang mendalam menghantarkannya kembali ke khribaannya. Sebagai anak muda dan masyarakat yang hidup saat ini, ia harus selalu dikenang dan semangatnya harus kembali dihidupkan, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran pada dirinya. Pertama, Kesatrianya mengorbankan diri, demi kepentingan bersama yang tidak mau dicekik oleh Belanda dengan alasan apapun. Kedua, Sikap kepemimpinan transformatif pada dirinya, yang selalu memberi inspirasi dan semangat, ia tidak segan-segan turun ke jalan. Baginya kedaulatan rakyat adalah segalanya.
Penulis; Perintis Forum Psikologi Progresif.
Magister Psikologi, UGM. Mantan Ketua umum
Ikatan Pelajar mahasiswa Kerinci (IPMK )
Yogyakarta 2012/2013.