Penyebab Kasus Virus Corona di AS Lebih Tinggi dari China dan Italia
Kerincitime.co.id, Berita AS – Kasus positif virus corona di Amerika Serikat melonjak drastis dalam beberapa hari terakhir. Minggu (29/3), ada lebih dari 120 ribu warga Amerika Serikat yang telah terinfeksi virus corona COVID-19. Dilansir Kumparan.com.
Dengan jumlah kasus itu, AS menjadi negara dengan kasus positif virus corona tertinggi di dunia, melampaui Italia dan China. Di AS, episentrum kasus infeksi COVID-19 berada di New York dengan lebih dari 52 ribu kasus.
Dilansir The New York Times, kasus infeksi virus corona di AS pertama kali dilaporkan pada Januari lalu. Seorang pemuda dari Seattle terkonfirmasi mengidap COVID-19 sepulang dari China. Sejumlah kasus positif corona di AS awalnya juga berasal dari warga yang baru pulang dari luar negeri.
Namun, sejak pemerintah federal menggencarkan penapisan massal selama tiga minggu terakhir, penyebaran virus ternyata telah meluas. Pada 13 Maret lalu, jumlah kasus virus corona di AS masih berada di kisaran angka 2 ribu kasus. Namun sampai hari ini, jumlah kasus yang terkonfirmasi terus melonjak hingga 50 kali lipat.
Menurut Angela Rasmussen, ahli virologi Columbia University, lonjakan kasus di Amerika Serikat sebetulnya bisa ditekan andai pemerintah lebih sigap melakukan penapisan massal. Dengan cara itu, penyebaran kasus lewat transmisi lokal bisa ditekan dengan mengkarantina warga yang positif terinfeksi.
Saat ini, 50 negara bagian di AS telah mengonfirmasi kasus positif COVID-19 di wilayah mereka.
“Lonjakan kasus ini seharusnya bisa diantisipasi lebih awal dengan melakukan penapisan dan pengawasan lebih cepat saat kasus pertama terkonfirmasi,” jelasnya.
Sejak kasus corona pertama kali terdeteksi, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS sebetulnya sudah mulai memproduksi test kit virus corona dan didistribusikan di sejumlah laboratorium kesehatan.
Tapi alat itu hanya boleh digunakan terbatas oleh warga yang pulang berkunjung dari China, atau punya riwayat kontak dengan pasien yang dikonfirmasi positif corona. Warga yang ingin melakukan tes juga harus mendapat rekomendasi dari dokter.
Pembatasan itu dilakukan karena Pemerintah AS ingin mengisolasi penyebaran kasus yang berasal dari warga yang baru kembali dari luar negeri, terutama China. Namun menurut Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, Dr Anthony Fauci, sistem tes seperti itu terbukti gagal mengantisipasi penyebaran virus yang sangat cepat.
“Sistem tes seperti itu bukanlah yang kita perlukan saat ini. Mari kita akui, sistem itu telah gagal,” ujarnya dilansir Wall Street Journal.
Selain itu, lambatnya penapisan massal juga disebabkan karena terdapat masalah pada test kit yang diproduksi CDC. Hasil tes menggunakan alat itu dilaporkan tidak valid karena reagen milik CDC bermasalah.
Ketika sejumlah laboratorium swasta dan universitas minta dilibatkan, respons pemerintah terlalu lambat.
Sejumlah laboratorium kesehatan itu sempat meminta agar diberi kewenangan untuk mengembangkan test kit mandiri. Namun mereka terganjal aturan pemerintah yang mewajibkan laboratorium mengantongi izin dari FDA. Sedangkan FDA dinilai lambat mengambil keputusan.
“Penyebaran virus lebih cepat dibanding perizinan di FDA,” kata Dr Alex Greninger, asisten profesor di University of Washington, dilansir The New York Times.
Baru pada 13 Maret lalu, FDA dan CDC mengizinkan laboratorium kesehatan untuk memproses sampel tes virus corona maksimal 4 ribu sampel per hari. Keputusan itu dikritik karena terlambat.
Sementara itu menurut The Washington Post, keterlambatan antisipasi penyebaran virus corona juga disebabkan karena Presiden Donald Trump terlalu menyepelekan wabah ini. Padahal, sejak Januari lalu, ia sudah diperingatkan intelijen AS soal potensi wabah COVID-19 di Amerika.
Namun, Trump justru mengabaikan peringatan itu. Ia tercacat telah 31 kali mengeluarkan pernyataan yang menyepelekan potensi wabah corona, baik lewat cuitan di Twitter maupun dalam berbagai pidato.
Trump berulang kali menyampaikan bahwa pemerintah telah berhasil mengontrol penyebaran virus. Bahkan, ia sempat mengatakan bahwa penyebaran virus corona akan menurun seiring dengan datangnya musim panas.
“Virus corona yang banyak dibicarakan orang saat ini akan hilang dengan sendirinya pada April nanti, seiring dengan datangnya musim panas,” ujar Trump pada 10 Februari lalu, seperti dilaporkan The Washington Post.
Padahal sejak pertengahan Februari, pakar penyakit infeksi University of Washington School of Medicine, Dr Helen Y. Chu, telah menemukan bukti penyebaran virus corona lewat transmisi lokal. Lewat penelitian dan tes yang dilakukannya, ia mendapati seorang pemuda tanpa riwayat perjalanan luar negeri positif terjangkit virus corona.
Dr Helen yang tergabung dengan Seattle Flu Study segera mengadakan proses pengurutan genom. Hasilnya, virus corona diperkirakan telah menyebar di tengah populasi Seattle selama enam pekan.
Ia sempat memperingatkan otoritas kesehatan kota dan pemerintah federal. Namun peringatannya tidak digubris. Ia malah diminta menghentikan penelitian karena laboratorium universitas belum mengantongi izin untuk melakukan tes virus corona dari pemerintah.
Virus corona saat ini sudah mulai menyebar dari kota-kota di kawasan pesisir Amerika Serikat seperti, New York, New Jersey, Washington, dan California, ke wilayah yang berada di tengah daratan Amerika seperti New Orleans, Detroit, dan Chicago.
Namun, sejumlah kota yang berada di wilayah tengah Amerika melaporkan kekurangan peralatan medis. Berdasarkan hasil survei US Conference Mayors, dari 200 kota yang disurvei, lebih dari 90 persen di antaranya menyatakan tidak memiliki peralatan medis yang memadai seperti masker dan alat pelindung diri untuk tenaga medis.
Dengan jumlah kasus infeksi corona yang meningkat dengan drastis, juru bicara WHO, Margaret Harris, memperingatkan bahwa Amerika bisa menjadi episentrum baru penyebaran virus corona.
“Kita sedang melihat akselerasi kasus positif corona di Amerika. Hal itu menunjukkan AS berpotensi menjadi pusat pandemi,” ujarnya dilansir The Guardian. (Irw)